Pria berkemeja biru muda itu menggebrak meja sedikit keras. Ia meletakkan pena ke sisi kanan dan menutup lembaran-lembaran brosur promosi dari bagian marketing. Biasanya bekerja sedikit berfungsi mengalihkan perhatian dari hal apa pun. Tapi kali ini rasa penasaran itu sulit ditepis.
Ia selalu penasaran pada reaksi-reaksi gadis itu menanggapi setiap ulah dan pikiran miringnya. Andai kemarin Eyang Ningsih tak melarang Brian membawa Nana pulang dan tinggal bersama, mungkin perempuan lucu itu sudah berakhir ia culik untuk dibawa pulang. Sialan, wangi parfum murahan Nana saja sampai terngiang begini. Aroma manis bercampur keringat yang memabukkan.
Pukul berapa sekarang? Apa sudah jam makan siang? Seingatnya Brian sudah mengirim pesan pada Nana kalau sore ini mereka akan pergi ke Bukit Bintang di Gunung Kidul. Alasannya meninjau tempat wisata untuk Rose, tapi bohong. Brian hanya tak punya alasan lain yang bisa membuat Nana percaya kecuali soal perusahaan Rose.
"Masih jam setengah dua belas," gumam Brian dengan kening berkerut. Tangan kiri yang menyandang jam digital keluaran terbaru itu meraih gagang telepon. "Tri, buruan ke ruangan sekarang."
Tanpa basa-basi, ia menutup telepon. Seperti mimpi, satu menit kemudian perempuan yang membuka pintu ruang kerjanya itu buka wanita berusia 40 tahun yang baru saja menjanda dua tahun ini.
**
Ah, Nana selalu sebal melihat gaya laki-laki yang sedang duduk di balik meja kerja itu. Rambutnya tersisir rapi ke samping kanan. Kemeja formal dengan dasi yang kelewat mulus dan rapi. Nana curiga Brian tak melakukan pergerakan apa pun sampai-sampai pakaian kerjanya tak pernah kusut. Kalau boleh jujur, ia lebih suka Brian yang baru selesai mandi, rambutan berantakan, dan kaus tipis yang menerawangkan otot-otot di perutnya.
Sebelum lelaki yang sedang tertegun menatapnya curiga, Nana menggeleng dan melangkah masuk. Ia membawa buku catatan Trias. Tas ransel mininya masih tersampir di punggung. Ia baru riba lima belas menit yang lalu dan mendapati sekretaris Brian dan beberapa rekan kerjanya mengeluh lapar. Laki-laki itu meminta mereka datang lebih awal sampai tak sempat sarapan.
"Kenapa jadi kamu yang ke sini? Trias mana?" Brian menelisik ke balik punggung Nana.
"Pergi makan. Kenapa? Kaget yang datang bukan sekretarismu yang super seksi itu? Oh, kamu pasti setiap kali dia masuk, pikiran kotor berjejalan. Memikirkan berapa ukuran bra-nya sebab dia punya ...." Nana memperagakan dua tangan di depan dada sambil membusung. "Atau memperkirakan, berapa ukuran celananya karena tonjolan di belakangnya itu cukup menggoda untuk diraba. Begitu?"
Nana menggebrakkan buku ke sisi kanan meja Brian. Manik lebarnya mendadak menyipit dan menatap sengit. Namun, lelaki yang masih duduk di kursi kebesarannya itu malah menahan kikikan geli seraya mengusap ujung hidungnya sendiri. Ia lalu bersandar santai, memutar kursi ke kanan demi menghadap perempuan yang sedang kesal.
"Aku malah lebih penasaran sama isi kemeja kebesaran itu daripada blazer Trias," ungkapnya tanpa tedeng aling-aling.
Begitu pria itu bangkit, Nana terperanjat mundur. Tangan kanannya meraup kerah kemeja, mempertahankannya. Siapa tahu tiba-tiba Brian benar-benar merealisasikan rasa penasaran di balik kemeja putih yang menempel di tubuh Nana. Gadis itu terpojok begitu punggungnya menubruk rak buku.
Ah, ruangan ini luas. Nana merutuki pilihannya mundur tanpa pikir panjang. Kenapa tadi tidak lari saja ke arah pintu atau jendela di sisi kanan ruangan? Niatnya menjinakkan macan malah terperangkap di kandang macan.
Telapak tangan kokoh itu maju, membuat Nana memejam dan sedikit mengerutkan tubuh. Mau teriak pun siapa yang percaya? Orang satu gedung ini pasti tahu posisi Nana di dekat Brian meski belum ada resepsi apa pun tentang pernikahan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...