3. Tawaran untuk si Gadis Mungil

31.5K 3.6K 105
                                    

Gadis yang duduk di sebelah Brian itu meneguk sekaleng susu steril dingin. Sebelum menyambangi rumah Nana, ia sengaja mampir ke minimarket, membeli susu bergambar ikonik beruang, dan dua batang cokelat. Setahu lelaki bermata sipit yang duduk di bangku panjang itu, Nana hobi mangkir di kafe lantai dasar kantor Rose untuk meneguk susu dingin di sela pekerjaannya sebagai staff marketing.

"Jadi, ada apa jauh-jauh dari Jakarta ke sini? Bukan untuk memintaku membakar sisa-sisa gagal menikah itu, kan?" cibirnya telak. Gadis itu menjilat sisa susu di bibirnya.

Tawa Brian tertahan miris. Ia mengerling jengkel tiap kali Nana mengingatkan pernikahannya yang gagal. "Enggak. Kemarin aja dimarahin tetangga gara-gara kita bakar-bakar di siang bolong."

Nana menghela napas, mengangkat kedua kaki untuk duduk bersila di bangku, dan bersandar ke dinding teras. Ada yang berubah dari gadis ini. Nana di Jakarta tampak jauh berbeda dengan gadis yang sedang duduk bersama Brian sekarang. Mata perempuan bertubuh pendek ini tak berbinar ceria, seperti menahan diri untuk bersikap selayaknya Nana yang tengil di kantor dan suka mengganggu ketenangan rekan yang lain.

"Terus?"

"Ya ... mau membicarakan soal proposal kemarin." Brian sama bersandar ke dinding. Lengannya sempat bersenggolan sejenak dengan lengan kecil gadis berkulit kuning langsat ini.

"Kan, aku udah bilang kalau resign. Kak Brian bicarakan saja sama Bu Bos Rose."

"Tahu, kok, tapi kamu penduduk asli sini. Kayaknya lebih paham tempat wisata yang bagus sekaligus tahu apa kemauan Rose." Brian menegakkan tubuh, menggeser sedikti posisi duduk lalu menunduk memperhatikan Nana. "Tumben lesu. Biasanya juga hobi cerewetin orang."

Nana terkesiap dan sama menegakkan tubuh. Agaknya ia mulai sadar perubahan semangat hidupnya. Gigi kelinci gadis itu terlihat begitu ia meringis lebar. "Iyakah?"

Brian mengangguk mantap. "Ngomong-ngomong, apa kabar Mei?"

"Kak Mei lagi ditanyain. Udah aku bilang jangan ganggu dia lagi. Kak Mei berhak bahagia. Aku tuh heran, deh ...." Rentetan ceramah itu terhenti.

"Nah, ini baru Nana. Cerewet, suka ceramah," kikik Brian.

Nana mengatupkan bibir mungilnya, membuat pria di sisinya gemas dan .... Buru-buru berdeham, mengenyahkan pikiran ngawur yang berkeliaran di kepalanya. Oh, percayalah, lelaki mana pun pasti jiwa primitifnya bangkit begitu melihat perempuan berbibir merah sedekat ini. Belum lagi kaus putih Nana setengah lembap yang ketika gadis ini bergerak dan kausnya menempel di badan, pakaian dalam berwarna hitamnya samar-samar terlihat. Bahkan otak Brian sampai repot-repot memikirkan berapa ukurannya.

Astaga! Brian segera menggeser posisi duduk sedikit lebih jauh lagi.

"Jadi gimana? Kamu mau kasih rekomen sekaligus meninjau tempat-tempatnya, kan?"

Nana tampak menimbang-nimbang. "Boleh, deh, daripada nganggur."

"Oke. Be the best partner, Na!" Brian mengulurkan tinjunya disambut tinju tangan mungil Nana.

Keduanya tersenyum kecil.

"Enggak gratis! Aku pengangguran. Semua biaya perjalanan Kak Brian yang tanggung, kan?" Nana bernegosiasi.

Brian tertawa. "Kecil kalau cuma urusan makan dan minum cewek pendek kayak kamu. Kasih semangkuk bakso juga kenyang."

Kelopak gadis berbulu mata lentik itu mendelik sebal. Merasa diremehkan, ia membuka bungkus cokelat dan memakannya dengan ekspresi ganas. Lagi, rasa gemas itu muncul. Andai Brian tak bisa menahan diri, ia ingin sekali mengacak puncak kepala gadis ini.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang