Bertengkar. Baru kali ini Brian berani bertindak sekeras itu saat bicara di depan perempuan. Yang membuat lelaki itu menyesal adalah ketika mata bulat gadis itu berkaca-kaca dan nekat pergi sebelum kencan malam itu terlaksana. Nana berkeras hati turun di pinggir jalan. Sementara Brian pantang menurunkan gadis di tepi jalan malam-malam begini.
"Kalau enggak ngerti duduk perkaranya, enggak usah sok tahu dengan memintaku selalu mengerti Eyang!" Nana berteriak begitu Brian mencekal pergelangan tangannya.
"Aku mana ngerti kalau kamu enggak mau terbuka sama masalah kamu! Dari awal aku sudah bilang, cerita kalau ada masalah!"
Gadis itu terdiam. Bentakan Brian yang keras itu sontak membuatnya mematung. Merasa bentakannya sudah keterlaluan di depan umum, Brian melepas cekalan tangan dan berniat minta maaf. Sayang, Nana berlari meninggalkannya.
Hingga pukul sebelas malam, ia masih mengendarai Fortuner hitamnya, berkeliling mencari gadis itu. Ke mana Nana pergi?
Ponsel di saku kemejanya berdenting beberapa kali. Brian menepi sejenak, mengangkat telepon dari sekretarisnya malam-malam begini. Trias menelepon tengah malam, itu berarti ada masalah yang cukup penting.
"Ya, Tri?"
"Maaf, Pak, ada masalah di hotel. Beberapa plafon runtuh dan mengenai pekerja."
"Kenapa bisa? Udah hubungi kontraktornya? Aku udah bayar mahal mereka buat kasih bahan bangunan terbaik, kenapa bisa runtuh? Kamu cek dulu, aku nyusul sebentar lagi." Brian mematikan panggilan, melempar ponsel ke kursi penumpang.
Apa lagi ini? Ia baru saja bertengkar dengan istrinya, sekarang masalah pembangunan hotel menerjang tiba-tiba. Brian memijit pangkal hidung. Kepalanya mulai pening dijejali pikiran macam-macam dan yang paling mengesalkan adalah Nana belum ditemukan juga.
**
Dari sekian banyak tempat tujuan, Nana tak mengerti mengapa ia justru dengan bodohnya menunggun di teras rumah ini. Rumah yang terletak di kawasan perumahan elit ini bahkan masih kosong. Si pemilik rumah belum kembali. Lelaki itu pasti banyak acara. Bertengkar dengan Nana masih sanggup menghibur diri ke kelab malam misalnya. Bukankah itu tabiat Brian sejak dulu?
Nana menghela napas panjang, memeluk ransel di pangkuan sembari bersandar malas ke kursi teras. Lelaki itu tidak bersalah. Siapa pula yang tak marah ketika dituding sebagai orang yang sok tahu sementara Brian hanya meminta Nana untuk bersikap lebih sopan di depan Eyang.
Gadis berkemeja kotak-kotak warna navy itu menilik jam digital di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul dua belas malam. Mungkin sebaiknya ia mencari tempat menginap lain. Ke rumah Kiara--sahabatnya semasa kuliah--misalkan.
Nana menggeleng miris, memejam sejenak. Lalu kilatan sakit itu berkelebat dalam ingatan. Bayangan kebaikan Kiara, manisnya persahabatan sejak SMA, lalu pertengkaran di kantin kampus bersama Damar.
Gadis itu membungkuk, menyembunyikan wajah di balik telapak tangan. Bahu Nana bergetar di sela isak tangis. Ia tergugu meratapi nasibnya sendiri. Salah besar memilih kembali ke kampung halamannya. Niatan melawan sakit di masa lalu justru membuat luka lama semakin berdarah.
Saking sibuknya menangis, gadis itu sampai tak sadar Fortuner hitam itu sudah memasuki halaman, menurunkan lelaki yang tergesa menghampirinya.
"Nana, kamu ke mana aja, sih? Aku cari--"
Nana bergegas menghapus lelehan di kedua pipi, bangkit dari kursi, lalu menghambur ke arah dada lelaki yang baru saja sampai di ambang teras.
**
Berjam-jam mengkhawatirkan Nana, Brian sama sekali tak menyangka rumahnya menjadi tempat pulang gadis ini ketika bersedih. Hal itu membuat perasaan Brian menghangat karena dibutuhkan. Nana tak seangkuh perempuan lain. Ia rela kembali pulang meski keduanya sempat saling bertengkar di tepi jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...