Gadis itu mengoles roti dengan selai cokelat, menuang susu segar ke dalam dua gelas, dan meletakkannya di meja bar. Pukul setengah delapan pagi, tidak terlalu terlambat untuk sekadar membuat sarapan sederhana. Sebab Nana tak sanggup tidur nyenyak semalam, ia memiluh mandi sewaktu subuh dan berjalan ke luar kompleks perumahan.
Gadis itu membawa ATM suaminya, menarik tunai beberapa lembar uang merah, dan membelanjakannya di minimarket 24 jam. Nana memasukan roti tawar, mentega, selai cokelat, telur, dan susu UHT ke keranjang belanja. Ia sempat meraih beberapa masker wajah mengingat kurang tidur membuat wajahnya terlihat tak segar. Namun, urung dan memilih meletakkannya kembali ke dalam rak. Nana masih punya sisa masker di rumah.
Kalau dipikir-pikir, Brian sebenarnya bukan sosok pria yang pelit. Ada suatu perkara yang ditutupi lelaki itu di muka umum ketika konflik penjualan apartemen milik mantan kekasihnya berlangsung memanas. Mungkinkah bukan Brian yang meminta apartemen itu diperkarakan? Lisa mungkin? Bukankah wanita seksi itu memang terkenal posesif dan mau Brian seutuhnya? Siapa yang tahu Lisa ketakutan kekasihnya kembali pada Mei karena ada keterikatan apartemen milik bersama itu. Nana mengedikkan kedua bahu sembari mengembuskan napas panjang.
"Pagi, Na ...."
Sapaan itu membuyarkan konsentrasi Nana menunggu roti keluar dari panggangan dan pikirannya yang baru saja berkelana. "Pagi," sahutnya diiringi senyum tipis.
Brian mengembuskan napas panjang sembari menarik kursi untuk duduk. "Soal semalam di pinggir jalan itu, aku minta maaf, Na. Enggak semestinya aku bentak-bentak kamu."
Gadis yang hanya mengenakan celana pendek motif batik dan kaus lengan pendek milik Brian itu tersenyum kaku. "Lupakan, aku yang enggak sopan sama Eyang." Nana mengibaskan sebelah tangan. Ia menyodorkan segelas susu lalu memindahkan roti ke piring.
"Aku enggak tahu duduk perkaranya, tapi aku paham hubunganmu dengan Eyang sepertinya sedang tidak baik." Brian memotong roti menjadi beberapa bagian lalu menyuapkan sepotong ke mulut.
Nana terkekeh. "Ya, tidak akan pernah baik selama Eyang masih merasa dia keturunan darah biru kaya raya." Gadis itu terpekur sejenak. "Kamu menikahi gadis keturunan darah biru yang keluarganya sedang terpuruk, Kak."
Brian tersenyum sumir. Ia meraih puncak kepala Nana dan mengusapnya lembut. "Kamu perlu bersenang-senang hari ini? Aku bisa minta Trias menemanimu. Hari ini aku harus meeting dengan Papa di kantor, lalu menjenguk pekerja konstruksi yang mengalami kecelakaan semalam."
Nana membelalak kaget. "Oh, jadi semalam pulang larut karena urusan pekerjaan? Aku pikir pergi ke kelab malam," timpalnya. Nana meringis, merasa jahat karena menuduhnya yang bukan-bukan.
"Aku sudah tidak pernah ke kelab malam sejak berpisah dengan Lisa, Na." Brian meneguk susu sampai tandas.
Bibir tanpa polesan lipstik itu membulat. "Oh, jadi dulu sering ke kelab karena menemani Kak Lisa?"
"Menurutmu, apa bisa tenang kalau punya kekasih yang kerjaannya meninjau kelab malam milik keluarganya? Apa kamu bisa tidur nyenyak kalau jadi aku, Na?"
Nana kembali meringis. "Iya, sih ...."
Hening, keduanya asyik menikmati roti sampai habis. Pikiran buruk Nana mengenai pria di dekatnya ini berhamburan. Ia mulai menemukan banyak kelebihan dalam diri Brian yang semula tertutup tabir privasi. Nana hanya tahu sebatas apa yang ia lihat dan dengar. Namun, kedekatannya sebagai suami-istri membuat Nana tahu banyak hal tentang sisi lain Brian.
**
Siapa saja tak akan percaya bahwa perempuan yang sedang menyetir Honda Jazz abu-abu metalik ini sudah berusia 40 tahun. Wajahnya masih mulus. Tubuhnya masih sintal sempurna dengan dada membusung dan pantat yang seksi bak gitar Spanyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...