Lelaki berkumis tebal itu mengisap dalam cerutunya. Asap beraroma tembakau tersembur melalui hidung dan mulut, menciptakan polusi yang sontak menbuat Asri terbatuk. Pria itu terkekeh-kekeh, membuat perut buncitnya bergerak naik turun. Dua orang preman bertubuh kekar tampak berdiri di sisi kanan dan kiri di mana ia duduk.
Ningsih terlihat cemas. Berulang kali wanita bersanggul itu meremas ujung kebayanya. Ia tertunduk dalam dengan riak bening memenuhi kelopak mata yang keriput.
Seno sendiri tak mampu berbuat banyak. Siapa pula yang bisa menolong keluarga ini sekarang? Utang almarhum bapaknya yang dua ratus juta saja lunas terbayar dari kucuran belas kasih menantunya. Lelaki bertubuh pendek itu bisa saja meminta bantuan lagi. Namun, ia tak tega menodai citra putrinya di depan tetangga. Seno tahu ini berat untuk Ayu.
"Jadi, mau dibayar pakai apa utang ibumu ini, Seno? Anakmu yang cantik itu belum mau bercerai dari suaminya, huh?" Dibyo mulai bersuara. Ia sempat terbatuk, mendesis seraya menepuk dada, memperlihatkan gigi geliginya yang menguning.
Asri berjengit tak suka. Sungguh sebagai ibu, ia tak tahan lagi. "Tolong jangan bawa-bawa Ayu lagi, Tuan. Sudah cukup dia ...."
"Hee, aku ini cuma tanya, Sri! Kenapa kamu emosi begitu? Sopan sedikit sama orang tua sepertiku!" Dibyo memprotes. Ia sempat mengusap perut buncitnya yang tertutup kemeja putih lengan pendek. Bahkan kancing kemeja itu terlalu sesak menahan gundukan perut penuh lemaknya.
"Aku cuma punya rumah ini dan isinya. Kalau kamu tega padaku ...." Kalimat Ningsih tertahan.
Dibyo mengangkat tangan. "Ambil televisi, mesin cuci, atau perabot apa pun yang berharga di dalam rumah ini," titahnya yang kontan membuat dua preman berkaus buntung itu sigap melangkah.
"Bapak!"
Suara pekikan dari arah depan teras itu membuat kepanikan Asri dan Seno tertahan. Di sana, pemuda itu berdiri dengan napas tersengal. Kedua tangannya terkepal.
Dibyo bangkit dari kursi. "Oh, kamu. Ada apa? Jangan bilang mencari Ayu. Ayu-mu itu, sudah jadi gundik pengusaha kaya raya, kok!"
Satu terjangan dan hantaman dari kepalan tangan putranya membuat lelaki tua itu terjerembap ke lantai. Preman yang semula berminat menguras habis isi rumah Ningsih beringsut menggapai dan memapahnya berdiri.
"Dasar anak pungut tak tahu diuntung!" Ia mengedikkan kepala, memberi aba-aba pada dua penjaga yang memegangi dua lengannya.
Asri memekik takut begitu preman-preman itu mengahajar habis Damar. Pemuda berkaus biru laut itu tak berdaya melawan. Dua preman suruhan Dibyo berbadan lebih kekar darinya. Tak tega melihat lelaki yang pernah dicintai Ayu, Seno memohon agar sang bapak menghentikan keroyokan dua manusia sangar itu.
Namun, Dibyo hanya mendengkus marah seraya mengusap-usap pipinya yang memar bekas pukulan sang anak. Sementara Ningsih hanya berlaku kebingungan. Ia tergopoh antara ingin menolong, tapi takut terkena sasaran tinju.
**
Ibu:
Ayu, Ibu pinjam uang lagi boleh? Hari ini Juragan Dibyo mau datang, Nduk. Ibu enggak ada duit. Uang Ayah sudah habis untuk beli keperluan bulanan.Ratna Ayu:
Iya, Ayu ke rumah hari ini. Berapa?
Ibu:
Lima juta saja, Yu. Dicicil pelan-pelan.
Ratna Ayu:
Iya ....Nana menghela napas panjang. Ia menggigit bibir seraya menyandarkan kepala ke kursi. Ini ketiga kalinya perempuan bergigi kelinci itu membaca rentatan obrolan melaluin pesan bersama ibunya. Tangan kanan Nana meremas ponsel. Sementara tangan kirinya memainkan ATM milik Brian yang sudah beralih ke tangannya sesuai keinginan sang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...