6. Ketika Ayah, Ibu, dan Eyang Tak di Rumah

35.3K 3.8K 105
                                    

Tubuh lesu dan mengantuk perempuan itu turun dari mobil hitam mengilap Brian. Ia berdecak pelan begitu tahu pagar rumah sebatas dada orang dewasa tergembok. Asri dan Seno sepertinya sedang keluar. Nana menguap, mengacak rambut terikat asalnya. Ia menepukkan clutch ke dada lelaki yang sama memperhatikan gembok pintu pagar.

"Pegangin sebentar," celetuknya.

Ia hampir menaiki pagar kalau saja Brian tak segera merangkul pinggangnya untuk turun.

"Eh, ngapain? Perempuan, kok, gitu?" desisnya sembari menyentil kening yang entah sudah berapa kali berkerut kesal.

Nana mengaduh sambil mengusap bekas sentilan di kening. "Ck, mau masuklah! Nunggu di teras. Kak Brian pulang aja sana. Kerja, kan, hari ini?"

"Perusahaan sendiri, berangkat siang juga enggak ada yang protes. Udah ada Trias di kantor. Yuk, pulang!"

Bibir Nana membuka lalu mengatup lagi. "Ini juga aku mau pulang. Gimana, sih?"

Bola mata Brian berputar putus asa. "Pulang ke rumah kitalah. Ini, kan, rumah ibumu. Rumahku, rumahmu juga."

Perempuan itu mengerling seraya berkacak pinggang. Agaknya terlalu gengsi mau mengakui ada kata rumah kita dalam kehidupan mereka sekarang.

"Ayo! Ini anak kayaknya harus dipeluk sama dicium dulu biar nurut."

Gumaman itu sontak membuat Nana mendelik dan spontan mundur beberapa langkah. "Ck, ngomongnya yang bener, dong!" protesnya.

Belum sempat Brian menimpali, seorang ibu-ibu datang menghampiri. Wanita paruh baya berpakaian batik itu mengantarkan kunci rumah. Nana tersenyum ramah setelah berterima kasih.

"Ayah sama Ibu ke mana memang, Bu?"

"Katanya antar Eyang Ningsih ke rumah saudara di Magelang, Mbak. Mau buat syukuran nikahannya Mbak Nana."

Informasi itu cukup membuat Brian di belakang Nana tersenyum. Keluarga istrinya menerima kehadiran suami Nana dengan baik. Ia mengangguk ramah pada tetangga istrinya yang berlalu.

"Mau bikin acara, kok, enggak bilang-bilang. Katanya mau beli tirai. Itu duit bisa habis kalau dipegang Eyang. Lagian Ibu ngapain, sih, nurutin kemauan Eyang mulu? Kayak orang kaya aja buang-buang duit."

Perempuan itu terus bergumam tak jelas sembari membuka gembok pagar. Bahkan ketika mereka sudah berada di dalam rumah, Nana masih saja mendumal tak tentu arah. Sementara Brian tak terlalu menanggapinya. Sepertinya memang Nana sedang ingin menumpahkan kekesalan tanpa minta pendapat siapa pun.

Hingga jajaran foto yang tertempel di dinding berhias lampu tumblr itu menjadi pusat perhatian lelaki yang sedari tadi mengekornya sampai ke kamar seluas 9 meter persegi. Kamar yang tak seluas kamar Brian, hanya ada tempat tidur berukuran single, lemari gantung dengan dua pintu berwarna cokelat muda mengilap, dan foto-foto yang otomatis mengganggu pikiran Brian.

"Siapa ini?"

Nana yang sedang membenarkan ikat rambut menoleh pada fotonya. Ia mendekat, menarik foto itu dengan kasar, dan merobeknya tanpa ampun.

"Bukan siapa-siapa. Masa lalu. Enggak usah dibahas," sahutnya tanpa minat.

Brian kembali menilik foto itu yang sudah berpindah ke keranjang sampah. Foto Nana yang bersandar di lengan seorang cowok berjaket biru tua dan perempuan berambut pendek di sisi kiri Nana. Terpaut cinta segitigakah? Brian mengedik, membuang pikiran yang mungkin saja penting, tapi ia sedang tak ingin menganggapnya penting sekarang. Ada yang lebih penting dari itu.

"Na, kamu enggak ada keinginan buat ganti tempat tidur itu?" Brian menunjuk ranjang kecil dengan selimut biru muda yang terlipat rapi di ujung tempat tidur. Jajaran boneka Teddy Bear menghiasi sudut kasur.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang