Ruangan kerja dekat anak tangga itu berantakan. Lembaran kertas berceceran di meja, beberapa kaleng bir--yang semuanya hanya diteguk sedikit dan bersisa banyak--tergeletak di meja kaca, selimut dan bantal juga masih teronggok berantakan di sofa.
Nana membawa tiga kaleng minuman beralkohol ke pantry, membuang isinya ke wastafel cuci piring sebelum memasukkan kaleng pada keranjang sampah. Perempuan berwajah sedikit pucat itu kembali ke ruang kerja suaminya, menata ruangan dengan sabar. Ia sempat membenarkan ikat rambut sebelum duduk di sofa dan melipat selimut lalu membawanya kembali ke kamar tamu.
Sudah terhitung tiga malam pria itu bersikap dingin dan memilih tidur terpisah. Bukannya Nana tak mau memulai berbaikan. Hanya saja setiap kali ia mengawali pembicaraan selalu saja berujung kesalahpahaman. Seperti malam tadi contohnya.
Nana hanya mengajak Brian berdiskusi mengenai keinginan melanjutkan studi. Lelaki itu malah menudingnya mau minta cerai begitu perjanjian 30 hari selesai.
"Aku pikir kamu juga udah cukup dianggap sebagai perempuan dewasa, Na. Aku yakin kamu enggak buta sama perubahan hubungan kita selama ini sejauh mana. Kalau kamu mau minta kita pisah setelah tiga puluh hari selesai, aku tetap mau dekat dengan calon bayiku, Na. Dan kalau dia lahir, dia sendiri yang akan memintamu kembali padaku."
Makan malam yang dingin berubah makin mencekam usai Brian menuturkan semua kalimat itu. Lagi pula siapa, sih, yang mau minta pisah? Kenapa laki-laki itu kalau cemburu kekanak-kanakan sekali?
Nana bersandar ke sofa seraya memijit pangkal hidungnya. Ia pusing setiap kali mengingat-ingat setiap pertengkaran-pertengkaran dengan Brian.
"Mbak Nana sarapan dulu, udah jam sembilan ini. Biar beres-beresnya saya yang terusin." Teguran Surti membuyarkan keheningan di ruangan itu.
Perempuan paruh baya yang mengenakan celemek abu-abu itu masuk dan membereskan sisa kekacauan di ruang kerja sang majikan. Nana mengangguk pelan diiringi senyum tulus sebagai wujud ucapan terima kasih sebelum beranjak ke ruang makan.
Namun, oh, kenapa makin ke sini tubuhnya semakin sulit diajak kompromi merahasiakan keadaan? Ia tadi baru saja membereskan hal-hal ringan di tempat kerja Brian ini dan rasanya sudah seperti kelelahan berat. Kepalanya juga sering berdenyut pusing dan sakit. Jangan lupakan sakit pinggang. Andai rumah tangganya sedang baik-baik saja, meminta sang suami mengusap-usap punggung di bagian pinggang pasti menyenangkan.
Sayangnya, Nana belum berani mengungkapkan semua. Ia takut semua yang dirasakan hanya gejala PMS rutin bulanannya. Sudah telat berapa hari sekarang?
Alih-alih menyantap sarapannya, perempuan itu merogoh saku celana untuk meraih ponsel. Ia menghitung perlahan pada tanggal di mana keduanya asyik mengurung diri di kamar resort selama dua malam tanpa ingat pulang. Nana mengetuk-ngetuk kening dengan ponselnya. Seminggu lebih empat hari. Seharusnya kalau ia memiliki keberanian, bisa saja menggunakan alat tes pemberian Trias waktu itu.
Tapi tidak! Nana menggeleng cepat. Jangan sekarang apalagi saat kondisi rumah tangganya sering salah paham begini. Pasti tidak seru. Nana mau seperti di kisah-kisah romantis dalam film. Memberikan kejuta yang membuat laki-laki itu tersenyum senang dan tak berhenti mensyukurinya.
Nana mendengkus, menertawakan dirinya sendiri. Lama bekerja di kantor Rose yang bergerak di bidang pengembangan aplikasi online dating membuat perempuan bertanktop itu ketularan mimpi-mimpi romantis sang bos. Ia meletakkan ponsel dan memilih menikmati semangkuk sup bayam.
Benda pipih itu berdenting sekali. Nana cepat-cepat meraihnya. Berharap Brian menyudahi kecemburuannya dan kembali mengajak berbalas pesan yang kadang menjurus ke hal-hal aneh. Namun, nama Kiara yang muncul membuat ia sedikit kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...