Entah sudah berapa kali lelaki itu berlari mengelilingi lapangan tenis bersama Riko‐-kakak iparnya. Riko sendiri sudah kelewat lelah mengikuti ajakan gila adik Tania. Tanganya sudah tak berdaya saking lamanya mengayun raket demi melayani sabetan bola tenis dari Brian. Gilanya lagi, adik iparnya masih mau lari keliling lapangan. Energinya benar-benar kelewat batas.
Tiga hari ini Brian selalu mengajaknya berolahraga. Entah itu nge-gym atau sekadar memukuli samsak sampai puas. Sisi bahkan sampai berceletuk, "Papa bisa kurus dadakan kalau diajakin olahraga terus sama Om Brian."
Namun, lelaki itu hanya meringis dan memilih pergi duduk di gazebo belakang.
"Ada yang enggak beres sama Brian kayaknya, deh, Ma. Nih, badan aku udah sakit otot semua nemenin dia olahraga mulu," protes bapak satu anak itu seraya meletakkan sport bag ke lantai. Ia terkapar di atas sofa berbahan kulit sepulang dari lapangan tenis.
Tania melipat kedua tangan di depan dada, mengalihkan perhatian dari Sisi yang sibuk menyendok es krim stroberinya pada sosok yang baru saja berlalu ke halaman belakang. "Lagi berantem sama Nana kayaknya, Pa. Papa mandi, deh, habis itu makan yang banyak. Bener kata Sisi, bisa kurus dadakan."
Riko berdecak kesal disambut tawa Sisi yang pecah. Tania hanya mengedikkan bahu dan berlalu menghampiri adiknya dengan tangan membawa sepiring potongan buah melon.
Brian masih duduk bersandar pada sisi gazebo seraya meneguk air mineral dalam botol.
"Lagi berantem? Kusut banget mukanya," tegur Tania sembari menyodorkan makanan segar ke hadapannya. "Enggak sampai nyiksa diri juga kali, Bri."
Brian mengerling jengkel. "Daripada main perempuan di luar, mending aku lampiasin energi sampai capek lewat olahraga."
Perempuan yang mengenakan sweter kasmir dan celana kulot itu mengangguk-angguk setuju. "Aku sama Mama udah sempat cariin gaun pengantin buat Nana, lho. Desainnya dijamin manis kalau dipake sama Nana," pancingnya.
Lagi. Lelaki berkaus lembap karena keringat itu mengerling jengkel. "Lo ngapain di Jogja terus? Sekolah Sisi gimana?" Ia berusaha mengalihkan obrolan.
Namun, bukan Tania kalau semudah itu digiring ke topik pembicaraan lain. "Sisi udah aku pindahin sekolahnya ke sini. Aku mau tinggal di Jogja juga biar Kakek seneng terus. Kenapa? Marah?"
Brian mendelik tajam. "Jadi, lo maksa-maksa gue buat cepet kawin dengan alasan urusan bisnis Papa di sini, tapi ujung-ujungnya lo ikut pindah ke sini juga?!"
Tania menaikkan kedua alis sampai kerutan di keningnya tampak. "Jadi, elo nyesel nikah cepat sama Nana?" tudingnya.
Adik Tania itu terdiam sejenak. Sorot kekesalannya mendadak meredup. Melihat itu, Tania bersiap menyiapkan pendengaran dengan menyelipkan rambut ke belakang telinga. "So, lo mau cerita ke gue atau ke Mama sekalian biar disampaiin ke Kakek?"
Brian mendesah panjang. Agaknya ia mulai menyerah.
**
"Enggak bisa gitu, dong, Bri. Sebagai laki, kamu juga harus pahami posisi Nana. Aku yakin sekarang dia sedang gamang karena rasa bersalahnya, bukan berarti dia menganggap pernikahan kalian main-main. Dia cuma butuh waktu buat meredam rasa bersalah dan jelasin semua ke kamu dan membujuk Damar untuk merelakannya."
Brian menghela napas panjang mengingat perkataan Tania. Ia memijak pedal gas usai lampu lalu lintas di perempatan jalan menyala hijau. Tania benar. Sejak mendengar penuturan kakaknya tadi, Brian jadi merasa bersalah telah mengabaikan Nana selama tiga hari ini. Perempuan itu pasti kesepian dan tak ada tempat menumpahkan kegelisahan hatinya.
Tiga hari ini lelaki yang membawa masuk Fortuner hitamnya--memasuki kompleks perumahan--selalu menyibukkan diri di kantor dan pergi ke rumah Handoko tanpa Nana. Ia baru pulang setelah menginjak pukul sembilan malam. Itu pun tidur di sofa ruang kerja dengan alasan kerja lembur, padahal menghindari istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...