21. Diasingkan

23.7K 3.1K 57
                                    

Sudah dua hari keduanya tak saling bicara. Bukan Nana yang tak ingin memulai obrolan, tapi Brian yang mendiamkannya. Ia pikir setelah kejadian Brian mabuk dan berakhri dengan kemesraan itu menjadi awal kembali menata kehidupan berumah tangga. Nyatanya tidak.

"Apa ini?" Nana meraih sodoran map merah dari Brian yang sedang menyesap kopinya.

"Baca aja. Aku cuma mau menepati janjiku yang dulu. Mengabulkan semua yang kamu mau. Kali aja sampai tiga puluh hari nanti kamunya minat balikan sama Damar," terangnya dengan nada sinis.

Wanita yang mengenakan sweter lengan panjang berwarna mustard itu tergesa membukanya. Ia membuka-buka perlahan isinya. Semua dokumen kerberangkatan ke Inggris, termasuk semua kelengkapan pendaftaran ke salah satu universitas ternama di sana.

"Besok kamu tinggal urus paspor sama visa. Enggak usah khawatir, kamu didampingi Trias di sana sampai beberapa bulan. Apartemen dan apa pun yang kamu butuhkan tinggal pakai."

Nana mengusap wajah dan menghela napas panjang. "Kak, ini ... maksudnya apa? Aku enggak harus ke luar negeri buat lanjut S2. Terus ... tadi ... apa tadi Kak Brian bilang? Aku? Balikan sama Damar?"

Brian mengedik, memalingkan pandangan dari istrinya kembali ke cangkir kopi di meja.

Malas berdebat panjang lebar, Nana bangkit dari kursi dan mendorongnya ke belakang. "Terserah, deh ...."

Ia berlalu. Namun, untuk beberapa detik Nana ragu melangkah dan berbalik. "Alih-alih merasa senang mau lanjut kuliah di luar negeri, aku malah merasa sedang mau diasingkan. Sengaja, kan, biar aku jauh dari Damar dan Kiara? Oh, apa memang Kak Brian enggak butuh aku lagi?" tudingnya tak habis pikir. Nana menggeleng putus asa. Ia berlari menaiki anak tangga, membanting pintu sedikit keras, dan tubuhnya yang bersandar ke pintu merosot ke lantai.

Tak butuh menunggu waktu lama sampai perempuan itu menyembunyikan tangis sembari memeluk lutut. Kenapa dengan pria itu? Cemburunya menyeramkan sekali.

**

Brian mengembuskan napas kasar. Ia hampir menyusul Nana ke kamarnya. Namun, ada sesuatu yang mengekang dirinya sampai Brian merasa perlu membiarkan membatasi diri dengan Nana.

Ponsel di sisi kanan cangkirnya berkedip dua kali. Lelaki berkaus putih itu cekatan meraih benda pipih berwarna hitam miliknya.

"Pak, hari ini penduduk sekitar kembali melakukan protes atas pembangunan hotel kita. Sepertinya mereka terprovokasi pihak tertentu."

Brian melempar ponsel sedikit kasar ke atas meja bar. Ia memijit pangkal hidung yang mulai terasa berdenyut. Bagaimana bisa mereka protes kalau sebelum hotel itu dibangun mereka sudah menjual tanah dan menandatangani surat penjanjian? Ini pasti ulah Sudibyo dan anaknya.

Nana tak perlu tahu soal ini. Ia harus bisa mengatasi ini sendiri bersama yang lain. Trias, sekretaris andalannya akan pergi menjaga Nana, itu artinya Brian harus bisa mengatasi ini sendiri dengan yang lain.

Ya Tuhan, ini mungkin karma! Sungguh ia baru merasakan betapa tak masuk akalnya seorang pria yang telanjur jatuh cinta sampai rela mencampuradukkan perkara hati dengan pekerjaan.

Ah, dulu juga ia pernah melakukan ini. Konyol!

**

"Ini tuh cemburu yang enggak berdasar banget, Mbak. Aneh aja gitu. Istri dihantui mantan bukannya dikekepin malah dibuang ke luar negeri." Nana memilin-milin ujung kemeja di pangkuan dengan geram.

Entah sudah berapa kali ia mengeluhkan semuanya di sisi perempuan yang sedang mengemudikan Honda Jazz itu. Sementara istri atasannya menggerutu dengan mata berkaca-kaca dan wajah merah padam. Trias tersenyum sumir, memaklumi tingkah wanita muda yang mungkin baru merasakan dimabuk asmara sesungguhnya.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang