24. Kecurigaan yang Tertahan

21.4K 2.9K 36
                                    

"Garpunya sekalian ya, Bi." Lelaki yang tengah mengupas mangga perlahan itu bersuara di sisi Bi Iyah—asisten rumah tangga Handoko.

Bi Iyah mengangguk paham. Wanita yang mengenakan kain jarik dan setelan kebaya sederhana itu beranjak ke sisi rak piring. Ia meraih tiga garpu dan dua piring kecil lalu meletakkannya ke atas nampan.

"Sini, biar Bibi aja yang kupas, Mas. Mas Brian nemenin Mbak Nana aja di sana." Dagu Bi Iyah menunjuk ke arah luar.

Dapur ini berhadapan langsung dengan halaman belakang rumah Handoko. Nana masih tampak asyik berbincang dengan Trias di gazebo belakang rumah. Entah kenapa seminggu ini perempuan yang semakin doyan makan itu jadi terlihat semakin cantik. Brian tersenyum samar.

"Enggak usah, Bi, biar aku aja. Bibi tolong bikinin minum aja, ya."

Perempuan berambut sebahu itu mengangguk pasrah bersamaan dengan Tania datang. Suara gemeletuk kitten heels miliknya terdengar nyaring. Cucu perempuan Handoko itu tampak modis dengan gaun kuning gading sebatas lutut dan aksesoris sabuk kecil di pinggang rampingnya.

"Aku curiga Nana itu ...." Tania mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke meja bar seraya menghadap jendela dapur. Matanya menyipit mengamati Nana yang masih sesekali tertawa dalam obrolannya bersama Trias.

"Enggak usah disebutin. Gue enggak buta-buta amat kali soal begituan. Udah cukup pengalaman gue ngurusin ngidam lo yang aneh-aneh waktu papanya Sisi enggak di rumah," sindir Brian. Ia melirik sekilas dan yakin Tania akan segera melayangkan pukulan ke lengannya. Demi menghindarinya, lelaki itu bergeser menjauh sambil membawa pisau dan potongan mangga di tangan.

"Berani kamu sekarang pake lo-gue, hah?" Tania mengacungkan garpu yang tergeletak di nampan.

"Heh, apa-apaan kalian ini. Malu diliatin Bi Iyah, udah segede ini masih suka berantem mulu, ih!" Riani mendekatkan keduanya lalu menubrukkan kepala mereka, membuat Tania mengaduh dan berkata jengkel.

"Mama juga tahu, kok, soal itu. Soalnya Nana udah ketiga kalinya dalam seminggu ini main ke sini, yang diminta rujak, asinan, mangga. Kamu mending ajakin dia ke dokter kandungan langganan Mama gih." Riani mulai memberi arahan sebelum sibuk meraih segelas air putih untuk dibawa ke kamar Handoko.

"Tahu, Ma. Entar kalau ada kabar baik pasti Brian kabarin Mama duluan. Tania paling akhir."

Tania yang tengah mengaduk kopi dalam cangkir mendelik. "Dendam amat."

Brian tertawa kecil. Ia tahu Tania tak pernah serius memarahinya. Mereka memang sering terlibat pertengkaran remeh temeh. Brian menyadari betapa pedulinya Tania meski cara pedulinya terkesan frontal dan galak. Bahkan Tania-lah satu-satunya saudara yang setiap kali datang mau beres-beres apartemen Brian.

"Becanda, Nia," ralatnya, "entar aku pasti kasih kabar Mama sama kamu."

Tania mengedik lalu mengangkat cangkir tinggi-tinggi pertanda damai. Perempuan itu melenggang mengekori Riani yang membawa nampan makan siang untuk sang kakek.

Brian mendesah panjang. Acara mengupas dan memotong buah bercita rasa asam manis itu selesai. Ia mencuci tangan seraya mengamati pergerakan istrinya dari jendela. Nana tak mengatakan apa pun. Perempuannya itu hanya bertingkah jadi lebih manja dan ke mana-mana harus ikut.

Entah apa yang membuat Nana tak mau membicarakan perubahan dirinya. Bisa jadi wanita itu memang tak tahu atau ... tahu, tapi sedang berusaha memastikan dan menunggu waktu yang tepat.

**

Pergerakan tangan perempuan yang mengenakan midi dress berbahan denim warna belel itu terhenti ketika Trias mendorong sesuatu di meja. Ia spontan menggigit bibir karena gelisah lalu meletakkan pena di atas kertas perencanaan wisata milik Rose.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang