"Ah, bohong! Pasti ada, nih!" Perempuan yang duduk di kursi plastik itu terus menggulir room chat di ponsel milik suaminya.
Brian hanya mengedik santai seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya. "Cari aja kalau enggak percaya."
Keduanya tengah menunggu rujak es krim pesanan mereka siap. Mereka duduk di dalam ruko dengan meja yang berjajar memanjang dan bangku-bangku plastik ditata rapi. Ruko di daerah Pakualaman, Jogja, itu menjual rujak es krim.
Andai bukan Nana yang meminta, Brian enggan menuruti. Perempuan yang tengah asyik tersenyum-senyum sendiri mengulik isi ponsel suaminya itu, hampir bisa dikatakan seperti kedatangan angin ribut kalau sudah berkeinginan makan sesuatu. Bukan tipe Brian sekali harus makan di sebuah ruko yang kalau pembelinya banyak pasti sempit. Beruntung siang itu keadaan seperti sedang berpihak pada pria berusia 27 tahun itu. Ruko penjual pionir rujak bertoping es krim lembut itu belum terlalu ramai.
"Oh, di galeri pasti ada nih nyimpen foto Kak Mei atau Kak Lisa," selidiknya lagi.
Sebelah alis Brian terangkat tak mengerti. Nana terlalu antusias mencurigainya masih punya hubungan khusus dengan jajaran mantan kekasih yang ia kenal. Jangankan menyimpan foto, semua akun media sosialnya saja sudah terblokir. Eh, ralat, mereka yang memblokir Brian.
"Enggaklah, Na, udah punya kesibukan masing-masing. Aku enggak mau ganggu mereka lagi. Yang satu ini aja udah bikin uring-uringan, masa mau nambah mereka juga." Brian menarik pelan surai rambut Nana yang tergerai di bahunya.
Perempuan berbandana putih itu merangkul lengan Brian dengan gerak manja. "Oh, aku lupa kalau suamiku udah tobat."
Brian terkekeh-kekeh begitu salah satu telapak tangan halus itu mengusap pipi suaminya sekilas. Nana mengembalikan ponsel kepada pemiliknya, meraih uluran dua mangkuk kudapan segar dari nampan penjual rujak yang menghampiri. Mereka baru memulai menjejalkan beberapa suap es krim bertektur lembut ke mulut. Nana bahkan belum sempat menoel serutan buah di bawah timbunan es bercita rasa manis olahan tepung hungkwe di mangkuk miliknya. Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan ruko.
Adukan di atas mangkuk Nana terhenti beberapa saat. Ia mendongak mengamati pasangan dari mobil itu turun. Perempuan dengan blus babydoll dan celana kulot itu berjalan perlahan dalam tuntunan pria di sisinya. Mereka belum sepenuhnya menyadari posisi Nana dan suaminya. Perlakuan pria berbalut kemeja motif garis-garis itu begitu lembut dan ramah pada sosok perempuan berbadan dua di sisinya.
Nafsu makan Nana yang menggebu menguap ke mana. Serutan buah asam manis di mangkul sudah serupa biji kedondong yang sulit ia telan.
"Lho, Ayu?"
Nana bergeming. Ia menelan saliva susah payah. Sementara Brian yang baru saja menelan sendokan es krim ketiga ikut mendongak.
"Ha-hai, Ra. Mau makan rujak juga?"
Brian menoleh dengan kerutan di kening. Ia sempat melempar pandangan ke arah Damar. Brian tersenyum samar mengamati beberapa bekas luka di sudut wajah pemuda itu.
"Masih mau ke sini juga rupanya," celetuk Damar seraya melirik sinis ke arah suami Nana.
"Aku ...."
"Sudah selesai. Ayo, kita pulang!" Brian memotong perkataan Nana, menggandeng perempuan itu untuk bersegera pergi.
Kiara mematung antara bingung dan tak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini. Ia tercengang begitu Damar berlari ke luar menghampiri mereka dan mencekal pergelangan tangan Nana.
"Ayu, kita belum selesai bicara kemarin."
Brian berdecak kesal. Apa iya mereka akan bertengkar di tepi jalan raya begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...