03

3.6K 115 320
                                    

|Pacaran, Kuy!

Roses are red.
Violets are blue.
Sugar is sweet
And so are you.
aw.
_________________

Masuk akalnya, insiden jambakan yang terjadi di kantin––yang mana begitu menghebohkan sampai bikin Sera terpaksa berurusan dengan komdis karena diyakini sebagai biang onar––cukup menjadi alasan bagi Rafa untuk berhenti mengganggu.

Meski nggak sampai botak, Rafa cukup tersiksa batin melihat rambut yang ia banggakan sebagai salah satu aset penunjang ketampanannya ini banyak yang rontok, juga kulit kepalanya nyeri bukan main selama beberapa hari. Satu hal yang Rafa petik sebagai pelajaran adalah tangan Sera sungguh nggak secantik wajahnya. Ngeri. Ganas. Berbahaya!

Lantas, apakah di hari-hari berikut semua berjalan sesuai dengan yang 'masuk akalnya'? Tentu saja... enggak.

Ketimbang menandai Sera sebagai makhluk kembaran Maleficent, alias si cewek berbahaya yang patut dijauhi sebelum rambutnya benar-benar dibikin hilang dari kepala, Rafa justru kian tertantang untuk mendekat. Berada di mana pun Sera berada, pergi ke mana pun Sera pergi, dan bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.

Kenapa Rafa bisa senekat itu? Sebab jujur, dari semua cewek yang pernah ia dekati, hanya Sera satu-satunya yang meski kejam dan nggak segan buat ngomong serta bersikap kasar, enggak bikin ia risih atau hilang respek. Teman-temannya memberi saran agar ia berhenti dan mencari cewek lain yang lebih cantik, lebih baik, dan terutama lebih waras. Tapi, Rafa nggak mau. Dia maunya cuma Sera.

Walau sama sekali enggak mendapat dukungan, pada akhirnya Rafa membuktikan bahwa dia bisa jadian dengan Sera.

Loh, kok bisa??

Semua dimulai setelah satu bulan kejadian jambakan itu terjadi.

* * *

Sesungguhnya, meski punya sikap sekelas preman pasar dan berkeinginan untuk menjadi antagonis yang kejam, hati Sera tetaplah bagai sari roti varian double soft alias lembut dan gampang meleleh, terlebih kepada orang-orang yang ketika ia jahati, nggak pernah berusaha membalasnya. Contoh paling gampang, ya seperti si buaya air asin alias Rafa ini.

Setelah peristiwa di kantin, bukan hanya sekali dua kali Sera kembali menjambak dan menyuruh cowok itu pergi jauh-jauh. Tapi, macam anak tuyul yang nggak bisa lepas dari si majikan, Rafa tetap selalu mengintili dia dengan banyak cara menyebalkan, yang lama-lama bikin Sera capek sendiri, lalu pada akhirnya membiarkan cowok itu ada di sekitar dia. Toh, percuma. Sudah diusir pakai cara yang paling halus sampai yang paling ganas pun, enggak mempan.

"Tadi pagi lo diantar sama siapa? Kakak lo, ya?"

Sera mengangguk sebagai jawaban. Dia dan si buaya air asin sekarang lagi nongki di gedung belakang fakultas, tempat mereka pertama kali bertemu. Sera senang saja duduk lama-lama di situ karena tempatnya yang adem dan nggak banyak orang berlalu-lalang.

"Sip, pulangnya sama gue!"

Ia melirik kecil. Kalau dihitung-hitung, ini sudah kali yang kelima belas Rafa mengajaknya pulang bareng. Padahal, jawaban dia juga akan selalu sama, "enggak."

Terdengar cowok itu berdecak. "Nolak mulu, coba deh sesekali bilang iya."

"Biar apa?"

"Biar gue seneng."

"Kalo gitu selama-lamanya gue nggak akan bilang iya."

Wajah Rafa sukses bete, tapi Sera nggak peduli. Aneh saja, cowok itu sebenarnya bisa mengajak cewek lain untuk pulang bareng––yang Sera jamin tanpa diminta dua kali pun bakal langsung mau––tapi selalu ngebet ingin pulang dengan dia yang jelas-jelas selalu menolak.

Induratize ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang