The saddest truth is realizing you have madly in love with the person you can't have.
_______________
||Sisi Seorang Figuran.
Kak Nai : dev, bulan ini kakak blm bs transfer
Kak Nai : bulan dpan aja ya?
Devia membuang napas panjang setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh kakak perempuannya, Naimara.
Sungguh. Ini masih terlalu pagi untuk merasa kesal, tapi dia juga nggak bisa terus-terusan sabar dan berkata nggak apa-apa. Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan tombol panggilan dan hanya butuh berapa detik sampai suara Naimara terdengar dari seberang.
"Halo, Dev? Kamu udah baca chat––"
"Kok bulan depan lagi sih, Kak?!" sambarnya dengan nada sarat emosi.
"Sakitnya mama kambuh, Dev. Kalo sampe siang ini nggak ada perubahan, mesti dibawa ke rumah sakit."
"Terus aku gimana?? Bulan lalu kakak udah nggak transfer, masa bulan ini juga??"
"Mau gimana lagi? Uang kakak cuma cukup buat biaya rumah sakit sama obat yang bakal ditebus." Naimara seperti ikutan kesal. "Emang kamu nggak punya pegangan?"
"Enggak."
"Gaji dari kafe?"
Devia berdecak. "Nggak cukup, Kak. Kecuali sebulan ini aku nggak makan sama skali!"
Lima detik lebih nggak ada tanggapan dari sang kakak, Devia mengakhiri panggilan secara sepihak lalu mematikan ponselnya agar nggak dihubungi kembali.
Setahun belakangan, kondisi finansial keluarga mereka memang makin memburuk. Naimara, hanyalah pegawai biasa yang bekerja di kantor swasta pinggiran kota. Sudah dua tahun kakaknya itu menjadi tulang punggung keluarga, termasuk membiayai kebutuhan Devia yang baru masuk kuliah. Namun, semenjak sang mama sering sakit, terlebih toko bahan pangan yang selama ini beliau kelola terpaksa tutup, uang bulanan yang mestinya diberikan kepada Devia pun mulai terpakai untuk hal lain.
Devia sendiri bukannya nggak mau berusaha atau cuma harap gampang.
Untuk bertahan kuliah di universitas yang terkenal mahal dan bergengsi ini, ia belajar mati-matian sampai yang tadinya hanya mendapat beasiswa dari pemerintah, kini mendapat beasiswa juga dari pihak kampus. Nggak cuma itu, ia turut bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe, supaya bisa membayar uang kos-nya sendiri. Uang bulanan yang ia dapat dari Naimara, biasanya digunakan untuk membeli makan dan kebutuhan lain, yang kalau boleh jujur, itu pun sering nggak cukup sebab biaya hidup di Ibukota jelas berbeda jauh dengan biaya hidup di kampung halamannya.
Tentang sang papa, Devia nggak tahu. Orang itu lari dari tanggung jawab dan pergi meninggalkan mereka, bahkan sebelum Devia terlahir ke dunia. Entah sekarang masih hidup atau sudah meninggal, dia nggak pernah mau peduli. Gara-gara orang itu, dia hidup susah dan miskin.
Tiap kali memikirkan hal ini, Devia jadi berandai-andai.
Andai saja dia nggak lahir dari keluarga nggak mampu. Andai saja dia punya orang tua yang kaya raya. Andai saja dia bisa seperti teman-temannya, yang bebas menggunakan uang tanpa khawatir sebentar malam atau besok pagi harus makan apa. Andai saja hidupnya bergelimang harta yang banyak, maka ia pasti menikmati masa remajanya dengan kesenangan, bukan kesusahan.
Katakanlah Devia kurang bersyukur. Benar. Memang nggak ada hal yang bisa disyukuri dalam hidupnya.
Dengan langkah yang pelan dan terkesan nggak bersemangat, Devia berniat pergi ke perpustakaan untuk mengembalikan buku sekalian menyicil beberapa tugas. Waktu pagi hingga siang memang harus ia manfaatkan sebaik mungkin, sebab dari sore sampai larut malam, ia akan sibuk bekerja. Otaknya turut memikirkan jalan keluar terbaik mengingat bulan ini dia nggak akan mendapat uang bulanan. Devia nggak mau pinjam-pinjam uang. Harga dirinya melarang melakukan hal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Induratize ✔️
Romance• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _________________________________________ Induratize [ in-door-a-tahyz] (verb.) to make one's own heart hardened or resistant to someone's pleas or advances, or to the idea of love. A side-e...