|Kobam.
_________________
Sebenarnya, alasan Jojo mengajak Rafa––yang berikutnya mari kita sebut saja sebagai si kampret, sebab malam ini sukses bikin emosi Jojo naik sampai ubun-ubun––pergi nongkrong asik di Reddragon murnilah karena kasihan.
Iya, berhubung si kampret baru putus cinta, Jojo rada prihatin gitu membayangkan malam minggu yang biasanya cowok itu habiskan dengan membucin dan menyiram banyak cinta untuk sang ndoro ratu, kini berubah total jadi mendekam kece (dibaca kecepian) di apartemen, sambil putar lagu galau terus mulai menye mellow dramatis macam banci pasar malam yang sudah seharian mangkal tapi belum dapat cuan.
Jojo mengenal si kampret dari jaman SMA. Bisa dibilang, biarpun temannya ini tumbuh dengan badan berotot sangar layak preman pasar dan muka yang mendukung penuh jadi fuckboy yang hobi main perempuan, aslinya hati dia tuh unyil banget! Gampang terbawa perasaan juga kelewat softie kalau sudah berurusan dengan orang yang disayang. Dan selama ini, semua juga tahu sebucin berat apa si kampret sama ndoro ratu.
Walau kejadian kemarin jelas si kampret yang minta putus duluan, Jojo yakin seribu satu persen kalau di saat-saat tertentu, contohnya malam minggu kayak begini, cowok itu pasti akan menggalau ria. Makanya, demi menghindari kejadian yang nggak diinginkan (kebetulan dari kemarin-kemarin berita yang Jojo baca selalu soal orang yang bunuh diri karena putus cinta) ia putuskan untuk mengajak si kampret nongkrong di Reddragon, buat mimik-mimik asik sekadar pelarian sementara dari ribetnya urusan cinta.
Tapi, agaknya keputusan yang Jojo ambil ini salah besar.
Eh, ralat.
Maksudnya, SANGAT SALAH BESAR DAN TERAMAT FATAL!!
Harapan mulia dia supaya si kampret bisa melepas penat, justru menjadi bumerang yang membuatnya kelimpungan sendiri.
Gimana enggak? Sejam yang lalu si kampret ribut besar dengan seorang pengunjung, hanya gara-gara muka si pengunjung katanya mirip sama Jendral. Kalau saja Jojo dan yang lain nggak sigap menahan, bisa-bisa dance floor berubah jadi tempat pertumpahan darah sebab pengunjung itu terlihat siap melempar kepala Rafa pakai botol kaca. Nyawa si kampret memang terselamatkan, tapi sepatunya enggak. Entah dia lempar atau bagaimana, Jojo pun nggak paham tatkala melihat kaki cowok itu sudah kosong melompong tanpa alas apapun.
Menjaga orang mabuk benarlah bikin sakit kepala. Namun menjaga orang mabuk yang lagi patah hati, itu bagai mengikuti latihan siksa neraka. Andai dari awal tahu Rafa bakal se-kampret ini, mending Jojo biarkan saja dia meringkuk frustrasi di apartemen!
"Johandar..."
Nah. Baru juga Jojo gibahkan, orang yang bersangkutan langsung bersuara.
"Apa, cuk?"
Rafa yang tadinya menidurkan kepala di meja, kini berusaha kembali duduk walau sempoyongan. Mata dia sayu berat, pipi dan telinganya juga merah padam tanda kebanyakan minum. Namun alih-alih berhenti, tangannya tetap mengambil sebotol Tequila lain untuk diteguk. Penampilan dia nggak karuan, otaknya apalagi!
"Coba deh... lo bayangin jadi gue..."
Kalau nggak salah hitung, ini sudah lima kali Rafa mengucapkan hal yang sama.
"Nggak, gue ogah jadi orang goblok."
"Bayangin ajaaaa, Joooo." Muka Rafa lekas memelas. "Gue tuh... nggak minta lo jadi goblok. Tapi... coba deh lo bayangin... segoblok apa gue hari ini??"
"Goblok banget ya?"
Rafa cegukan, setelahnya mengangguk. "Ho'oh."
"Mampus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Induratize ✔️
Romance• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _________________________________________ Induratize [ in-door-a-tahyz] (verb.) to make one's own heart hardened or resistant to someone's pleas or advances, or to the idea of love. A side-e...