|Nah Loh...
_________________
Pertengahan Juni, tujuh tahun lalu.
"Udah pamit belum sama Serena?"
Jendral yang tengah sibuk mengemasi barang, segera menoleh tatkala mendengar suara Mama. Beliau sudah berdiri anteng di depan pintu kamarnya sambil memberi tatapan tanya. Hal yang kemudian membuat Jendral mengembus napas panjang lalu menggeleng pelan.
"Belum."
"Kenapa?"
"Besok aja."
"Dari kemarin bilangnya besok mulu," celetuk Mama. "Dia bisa makin sedih loh kalau kamu pamitnya mepet-mepet waktu."
Jendral nggak menjawab. Ia kembali menunduk lalu memasukkan beberapa barang penting lain seperti MacBook, kamera, buku-buku catatan, kotak kecil berisi obat, Alkitab, kalung rosario, dan yang terakhir––gerakan tangannya terhenti ketika memegang tiga bingkai foto berukuran sedang. Dipandangnya lamat-lamat, kemudian menarik senyum getir sebab teringat cerita dibalik tiap fotonya.
Bingkai pertama adalah foto Jendral bersama Mama dan Papa, yang diambil sekitar dua tahun lalu waktu mereka liburan ke Disneyland Hong Kong. Cerah, ceria, diliputi hangat juga bahagia. Sayangnya, itu menjadi foto keluarga terakhir dan liburan terakhir Jendral dan Mama bersama sang Papa. Pada bingkai kedua, ada foto Jendral dan Papa yang tengah tersenyum lebar sambil memegang piala besar beserta piagam. Kala itu, ia berhasil memenangkan Olimpiade Fisika dan Papa terlihat begitu bangga. Namun, lagi-lagi itu menjadi foto terakhirnya dengan Papa, sebab hanya tiga bulan berlalu sejak foto itu diambil, Papa pergi untuk selama-lamanya. Di bingkai yang terakhir, isinya foto Jendral dan Sera waktu mereka lulus TK. Foto pertamanya dengan cewek itu, semenjak mereka menjadi teman.
Sembilan tahun terasa begitu cepat. Sera menjadi bagian penting dalam hidup Jendral, sesuatu yang kini membuatnya sulit untuk pamit. Pada bulan-bulan sebelumnya, Jendral sudah mencoba memberi tahu cewek itu. Namun, Sera terus mengganti topik pembicaraan, bersikap seolah nggak mendengar apa-apa.
Jendral tahu alasannya. Cewek itu, nggak mau ditinggalkan.
"Mah."
"Hm?"
"Apa aku nggak usah pergi aja, ya?"
Jendral kembali ragu. Memikirkan bagaimana tinggal jauh dari orang tua pada usia yang baru lima belas, bukanlah sesuatu yang gampang. Butuh waktu baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, bahasa baru, rumah baru, dan terlebih teman-teman baru.
Tapi, apa dia punya pilihan lain? Jawabannya enggak.
Hanya sedikit orang yang tahu bahwa kehilangan sosok Papa secara tiba-tiba, membuat psikis Jendral cukup terganggu. Selama berbulan-bulan dia nggak bisa makan dan tidur layaknya orang normal. Kadang, dia seperti hidup dalam dunia mimpi, yang kemudian terbangun dengan harapan bisa melihat senyum Papa lagi. Setiap hari terasa berat ketika harus menerima kenyataan bahwa dia nggak bisa melihat dan memeluk papanya. Sudah banyak metode penyembuhan yang dicoba, namun nggak begitu berhasil. Hingga sang psikiater pun menyarankan agar Jendral mencoba tinggal jauh dari rumah. Dalam arti, untuk sementara waktu entah singkat atau panjang, dia harus tinggal di tempat yang nggak membuat dia terus mengingat kenangan bersama Papa. Melbourne, menjadi pilihan sebab di sana ada keluarga mereka yang bisa mengurusnya.
Hanya saja, semakin dekat dengan hari keberangkatannya, beban pikiran dia pun makin bertambah. Semua orang pasti setuju bahwa yang namanya perpisahan, nggak pernah ada yang menyenangkan. Jendral merasa nggak siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Induratize ✔️
Romance• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _________________________________________ Induratize [ in-door-a-tahyz] (verb.) to make one's own heart hardened or resistant to someone's pleas or advances, or to the idea of love. A side-e...