36

734 74 145
                                    

|Deep Talk.

more than having 'everything', not losing that 'one thing' is more important. through you, i came to know that.
________________

Karena kehebohannya kalah-kalahin jeritan para bunda saat melahirkan, hampir setengah jam Sera terusir dari ruangan Rafa. Sepanjang itu mulutnya nggak berhenti misuh-misuh, mengingat baik dokter maupun perawat baru tergesa muncul sekitar sepuluh menit kemudian sejak ia menekan tombol darurat.

Gimana Sera nggak mau panik? Tangan Rafa––yang nggak sengaja ia genggam terlalu erat sehingga menghambat jalur infus––terus mengeluarkan darah sampai masuk kembali ke selang infusnya. Sudah begitu, muka Rafa juga tampak amat kesakitan, mendukung banget jadi orang yang lagi melewati sakratul maut. Super dramatis! Sera yang dari awal sudah nggak tenang, dibikin makin grasah-grusuh bak cacing kena garam.

Iya sih, Sera paham betul jikalau dokter dan para perawat ini nggak hanya menangani Rafa seorang. Tapi, kalau tadi terjadi sesuatu sama cowok itu, bagaimana? Sudah pasti dia yang menjadi pelaku tunggal dan berakhir diseret sama Mama Yuri untuk rebahan dalam penjara. Untung seribu untung sih, setelah bermenit-menit diperiksa dan ditangani, keadaan Rafa kembali stabil.

Sera sudah diperbolehkan masuk ke ruangan lagi, dengan syarat nggak boleh merusuh apalagi bikin heboh, sebab ini masih dini hari. Iresa serta yang lain (termasuk Dara, Disi, dan Monita, yang beberapa jam lalu datang menyusul) memilih menunggu di ruangan berbeda. Tadinya Sera sudah menyuruh saudara-saudaranya itu untuk pulang, tapi mereka nggak mau.

"Kita bakal pulang kalo Kak Sera juga pulang. Kalo kakak mau nginap, yaudah, kita juga nginap."

Itu kata Disi, yang disambut anggukkan mantap dari Iresa dan Monita. Hati mungil Sera dibuat agak terenyuh. Biar trio tuyul sontoloyo ini kelakuannya makin laknat dari hari ke hari, ada saat tertentu di mana mereka berubah menjadi malaikat-malaikat kecil yang baik hati. Bahkan dari cerita Monita––yang entah seratus persen asli atau sudah diracik dengan bumbu kebohongan––kabar soal kecelakaan Rafa turut membuat Papi dan Mami yang masih berada di Singapura, panik bukan main. Pasutri itu awalnya ngebet ingin pulang dengan penerbangan tercepat, hanya saja usai tahu keadaan si arek lanang kesayangan mereka ini nggak separah yang dipikirkan, mereka pun memutuskan untuk balik ke Indonesia siang nanti.

Begitu saja, Sera jadi menyadari kalau Rafa bukan hanya penting bagi dirinya, melainkan juga bagi keluarganya. Ibarat kata nih, jika mereka kembali pacaran terus menuju ke jenjang yang lebih serius, cowok itu nggak perlu repot bawa seserahan atau sungkem minta restu pun, jalannya sudah terbuka lebar.

Itu kalau mereka kembali pacaran, ya, sekarang kan masih mantan.

"Kamu nggak pulang?"

Lamunan Sera sekejap buyar kala mendengar pertanyaan Rafa. Ia menjawab dengan gelengan pelan, lalu kembali mengedarkan pandang ke arah lain demi menghindari mata cowok itu. Nggak tahu kenapa, tatapan Rafa sekarang ini bikin dia rada salting. Padahal biasanya juga enggak.

"Kalo gitu pergi tidur, gih."

"Aku nggak ngantuk."

Rafa berdecih pelan. "Bohong banget, aku perhatiin udah sepuluh kali kamu menguap."

"Kamu hitung??"

"Enggak sih, cuma asal nyebut doang."

Sera batal kaget. Ia menipiskan bibir sebelum berujar, "kamu aja yang tidur, aku jagain."

"Duh, nggak bisa."

"Napa? Bahu kamu sakit banget?"

"Nggak juga."

Induratize ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang