🤍 Chapter 2

101 12 0
                                    

Antara Kecewa dan Bahagia

-----A&A-----

Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 6 Aira sudah diantar Bella ke terminal untuk pulang ke Jakarta. Tidak ada bis yang berangkat semalam sehinga ia harus rela bangun awal untuk mengejar bis pertama.

Aira tiba di rumah disaat mentari mulai merangkak naik. Ia langsung menemukan sosok sang ibu sedang menyapu halaman rumah.

"Mama!"

Wanita berdaster dengan rambut terkuncir sembaragan itu menghentikan kegiatannya, menoleh pada sang putri yang berlari kearahnya.  Terlihat sekali kekhawatiran di raut wajah Aira dan itu membuatnya merasa bersalah.

"Aira."

"Ayah kenapa Ma?"

Bahkan sangking paniknya, Aira tidak mengucap salam atau menyalami Nengsih.

"Ayah kamu gak papa. Dia ada di dalam. Pergilah lihat."

Tidak menunggu disuruh dua kali Aira segera melangkah ke rumah yang sudah enam bulan ia tinggalkan. Sayup-sayup ia mendengar suara televisi dan kegaduhan adik kembarnya.

Banar saja, diruang tamu yang merengkap sebagai ruang keluarga itu, ia temukan Dava dan dan Davi tengah berebut mobil-mobilan di depan televisi yang menyala. Kedatangan Aira menarik atensi keduanya.

"Mbak Aila!" Keduanya melupakan mobil-mobilan yang mereka rebutkan lalu menghampiri Aira.

"Dimana Ayah?"

"Di dapul." Si kecil Dava menjawab setelah ikut menyalami sang Kakak.

"Kakak ke dapur dulu."

"Gak ada oleh-oleh?!" Langkah Aira terhenti saat sikembar menahan kedua tangannya.

"Enggak ada sayang. Maaf ya."

"Yah."

Aira tidak punya waktu untuk menghibur hati adik-adiknya. Ia perlu bertemu sang Ayah lebih dulu, memastikan bahwa pria itu baik-baik saja.

Masih dengan langkah terburu-buru ia meyusuri rumah. Rumah mereka tidaklah besar, hanya satu lantai terdiri dari tiga kamar, satu ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga, dan dapur yang juga berdampingan dengan kamar mandi. Ubin yang ia pijak bukan pula dari keramik mahal, hanya keramik putih polos yang selalu bersih berkat sang ibu.

Dari arah dapur Aira mendengar suara dentingan sendok dan piring saling beradu.

"Ayah."

Aira menukan sang Ayah tengah menyantap sarapan pagi dengan tenang, tampak sehat dan tak kekurangan apapun. Ia lalu mendekat dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Ditambah Uwi yang duduk dihadapan Agyo, sang Ayah, tidak berani menatap nya sedikitpun. Gadis itu terdiam dengan sendok menggantung diatas piring.

"Aira kamu sudah datang?"

"Uwi bilang Ayah ..."

"Makanlah dulu. Kamu pasti belum sarapan."

"Aira datang karena cemas Ayah kenapa-kenapa. Aira juga sampai minjam uang sama teman buat datang kesini. Tapi Ayah..."

Bukan Cinta Yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang