🤍 Chapter 22

41 9 0
                                    

Wanita Lain

---A&A---

Aira pernah bilang bahwa dirinya sudah mencintai Afar sejak lama. Sejak tatapan pertama mereka di tengah guyuran hujan kala itu. Hingga kinipun perasaan tersebut tetaplah sama. Tidak. Barangkali jauh lebih besar. Jauh lebih dalam.

Kendati demikian, Aira tetap tidak bisa mengenal Afar sepenuhnya bahkan meski mereka telah tinggal dalam satu atap yang sama. Tidak ada yang Aira tahu dari suaminya itu kecuali perihal keluarga dan pekerjaan. Ah ya, belakangan ini ia sedikit tahu tentang teman-teman dekat Afar. Tapi selebihnya tidak ada yang ia ketahui.

Aira baru saja membereskan kamar setelah Afar berangkat kerja. Saat Aira hendak memasukan pakaian yang telah dilipat kedalam lemari, ia memukan sesuatu didalam lemari suaminya itu. Sesuatu yang seharusnya tak pernah ia lihat.

Aira melihat sebuah kotak. Kotak merah muda berpita senada. Seharusnya Aira tak lancang mengambil dan membuka kotak itu. Bagaimanapun tak sepatutnya ia menyentuh barang-barang Afar sesuka hati. Namun rasa penasaran membuat Aira menepis kata hatinya sendiri.

Aira menemukan banyak foto Afar bersama seorang wanita disana. Foto yang mengggambarkan keintiman.  Ada foto Afar yang terlihat mencium pipi sang wanita, sedang sang wanita tersenyum lebar kearah kamera. Ada foto saling berpelukan, saling rangkul, saling genggam, bahkan ada yang hanya saling tatap tapi Aira sadar betapa manisnya foto itu.

Disetiap lembar foto terselip tanggal dan kata-kata indah.  Tidak tahu siapa yang menulisnya entah Afar atau wanita itu, yang jelas setiap Aira membaca tulisan-tulisan nan indah itu, hatinya remuk.

My beautiful sunshine. 

Air mata luruh dipipi Aira. Ternyata selama ini ia terlalu banyak berharap. Sampai harapan itu membuatnya lupa bahwa dirinya tidak akan bisa memenangkan hati Afar. Hati sang suami ternyata telah terpaut pada wanita lain.

Aira tidak tahu dimana wanita ini sekarang. Bagaimana hubungan mereka. Yang Aira tahu hanya cinta yang begitu besar dimata keduanya. Ia melihat cinta Afar. Cinta wanita itu. Dan hal itu sudah cukup untuk menyadarkan Aira bahwa cepat atau lambat ia akan kalah.

Setelah mengembalikan kotak merah muda itu ketempat semula, Aira melanjutkan aktivitasnya. Namun semua kegiatan ia lakukan dengan bahu terkulai. Moodnya benar-benar berantakan. Kalau tidak ingat masih ada piring  yang menumpuk di westafel, kain yang kotor dikeranjang, atau bahan makanan yang perlu dimasak, Aira pasti lebih memilih berbaring diranjang  lalu memejamkan mata. Berharap apa yang baru saja ia temukan hanya sekedar mimpi semata.

---A&A---

Afar kembali lebih awal. Entah kenapa belakangan ini ia jadi semangat pulang. Mengetahui ada seseorang yang selalu menunggunya, menyambutnya di depan pintu dan mencium punggung tangannya, menghadirkan rasa nyaman.

Tapi hari ini agaknya ada yang berbeda. Aira memang tetap membukakan pintu dan tersenyum hangat sebelum mengambil tangan kananya untuk dicium, namun sorot mata istrinya itu tampak berbeda. Tidak ada binar. Yang Afar temukan justru mata sayu seperti orang kelelahan.

Afar mengekori Aira kedapur lalu menatap punggung wanita itu yang tengah sibuk sendiri. Atau pura-pura sibuk? Entah apa yang Aira lakukan. Afar tidak tahu karena tidak bisa melihat dari tempatnya berdiri. Yang Afar tahu adalah satu hal. Aira mengabaikannya. Istrinya itu tidak bertanya apa-apa. Tidak juga menawarkan teh atau kopi seperti biasa.

"Lo ngapain?"

"Rebus air kak."

Aira berjalan kesisi lain untuk mengambil gelas. Gelas yang biasa ia pakai untuk membuat kopi atau teh untuk Afar.

"Lo mau buat apa?" tanyanya lagi. Sekarang ia makin yakin ada sesuatu yang salah dari Aira. Aira bahkan tak mau menatapnya sedetikpun saat ia bertanya.

"Bikin teh buat Kakak."

"Kenapa lo gak nanya dulu sama gue? Biasanya gitu."

"Kakak gak mau minum teh? Mau kopi aja?"

"Lo kenapa sih?" Alih-alih menjawab pertanyaan Aira Afar justru mengeluarkan isi kepalanya.

"Gak papa. Emang Aku kenapa kak?"

Bagaimana Afar menjelaskannya. Meski Aira tampak bersikap biasa saja, tapi ia tahu ada yang berbeda dari istrinya itu.

"Gue yakin ada apa-apa. Cerita aja kalau lo memang ada masalah. Gue mau dengerin kok."

"Engak apa-apa kok kak," yakin Aira dengan senyum simpul.

Nah kan Afar semakin yakin ada masalah. Senyum Aira tak sampai kemata. Sekali lagi, Afar  tidak tahu bagaimana menjelaskannya, yang jelas ia yakin ada yang tidak beres. Afar seperti sudah hafal bagaimana sikap wanita itu.

Afar memutar langkah kemudian mematikan kompor sebelum berdiri dihadapan sang istri dengan jarak begitu dekat.

Aira mendongak dan menemukan pandangan menyelidik dimata sang suami.

"Lo gak lulus tesnya ya?" Tebak Afar yang disambut gelengan.

"Tesnyakan baru kemaren kak. Pengumumannya juga dua atau tiga hari lagi kok."

"Oke. Kalau bukan karena itu terus lo kenapa? Lo kelihatan bad mood."

Hati Aira terenyuh. Ternyata Afar begitu peka terhadap perasaannya. Tapi perasaan itu langsung sirna saat mengingat lagi foto-foto Afar bersama wanita lain dalam kotak itu.

"Aku beneran gak papa kak." Aira memilih mundur satu langkah kemudian memberi senyum terbaiknya agar Afar percaya bahwa ia baik-baik saja.

"Udah kakak bersih-bersih aja. Biar badannya segar. Aku buatin teh ya."

Mata Afar memicing. Dirinya masih belum sepenuhnya percaya tapi ia tak punya pilihan lain selain pergi dari sana. Ia tak mungkin memaksa kalau Aira sendiri tak ingin cerita.

"Ya udah gue kekamar dulu."

"Ya Kak."

Selepas kepergian Afar, Aira menghembuskan nafas berat. Begini rasanya berlakon baik-baik saja padahal hati sudah hancur berkeping. Barangkali itu yang dirasakan Afar selama ini. Afar pasti tersiksa menerima pernikahan mereka disaat pria itu sudah mencintai wanita lain.

Tak lama Afar keluar dari kamar dengan penampilan lebih santai dan segar. Celana pendek selutut dipadu kaos hitam polos membalut tubuhnya.

"Lo udah mandi?" Afar ikut mendudukan diri disamping Aira yang sedang menonton.

"Udah dari tadi Kak. Oh ya, teh Kakak ada dimeja dapur."

"Hmmm."

Aroma maskulin seketika memenuhi ruangan. Aroma yang selalu membuat Aira ingin pasrah dalam dekapan sang suami. Kira-kira seperti apa rasanya menghidu aroma itu dari jarak dekat.

Kamu gila. Sebuah bisikan menampar Aira. Benar. Ia sudah gila. Bagaimana mungkin dirinya bisa berpikiran seperti itu disaat ia tahu tidak akan ada tempat untuknya dalam dekapan Afar.
Lagi-lagi Aira dirundung muram.

"Keluar yuk."

"Keluar? Kemana Kak?"

"Cari makan."

"Tapi Aku udah masak."

Afar tampak berpikir sejenak. Berusaha mencari alasan untuk mengajak Aira keluar.

Aira butuh udara segar. Tidak tahu apa yang merusak suasana hati wanita itu. Yang pasti Afar begitu ingin mengembalikan senyum ceria di bibir sang istri.

"Gue pingin makan diluar. Makan yang ringan-ringan aja. Sekalian jalan-jalan."

"Pasti macet kak. Kita makan ..."

Melihat Afar memandangnya dengan penuh harap membuat Aira tak jadi melanjutkan ucapannya. Alih-alih ia mengangguk.

"Yaudah. Aku siap-siap dulu ya kak."

"Oke. Gak pake lama."

"Iya."

Tangan Afar terkepal ke udara begitu Aira beranjak. Yesss. Mission's completed. 

Tunggu. Kenapa ia bisa seexcited ini?

Bersambung....


Bukan Cinta Yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang