🤍 Chapter 9

54 10 0
                                    

Hai hai ketemu lagi. Jangan lupa vote dan komennya. Thanks🤍

****

Diabaikan lagi dan lagi

---A&A---

MasyaAllah rumah ini.
Aira tercengang melihat rumah mertuanya. Begitu besar dan megah, terdapat halaman luas dipenuhi berbagai kembang dengan pot-pot besar. Barangkali harga tanaman-tanaman itu saja tidak sebanding dengan harga rumah kedua orang tuanya.

Afar tengah berjalan santai memasuki rumah, sedang Aira yang mengikuti dibelakangnya melangkah dengan ragu. Wanita itu tidak yakin apa dia pantas berada disini. Sepertinya Pak Satrio dan Bu Ninggrum sudah salah memilih menantu.

Pintu tinggi besar dihadapan Aira terbuka lebar. Seorang wanita paruh baya berpakain kebaya model lama tersenyum lebar menyambut kedatangan mereka.

"Mas Afar sudah sampai toh. MasyaAllah ayu tenan istrinya Mas Afar."

Mendengar pujian yang dilontarkan wanita itu membuat Aira serta merta menyunggingkan senyuman. Siapa kira-kira wanita ini? Beliau memiliki aura positif yang berhasil meredakan kegugupan Aira.

"Mama dimana Mbok?"

"Ada Mas. Lagi sarapan sama Bapak."

Afar mengangguk singkat kemudian berlalu melewati wanita yang ia panggil si Mbok tadi. Entah lupa atau bagaimana, Afar meninggalkan Aira begitu saja. Tidak ada ajakan untuk ikut masuk bersama. Aira memilin ujung jilbabnya seraya menatap kepergian sang suami. Perasaan sedih kembali melanda.

"Ayo Non ikut masuk."

Karena tidak ada pilihan lain, Aira mengikuti langkah wanita itu. Ia berjalan menunduk. Tak lagi berminat mengamati rumah mertuanya. Namun yang jelas perjalanan menuju dapur atau meja makan lumayan jauh juga. Entah berapa kali mereka berbelok, Aira tak begitu memperhatikan.

Oh ya, Aira juga baru tahu bahwa wanita yang menuntunnya ini adalah asisten rumah tangga yang paling lama mengabdi pada keluarga Dalmatian. Nama beliau Mbok Minah.

Mbok Minah sudah bekerja disini sejak Afar kecil. Bahkan beliau yang dulu bertugas merawat Afar. Jadi sama seperti Bu Ninggrum, Mbok Minah adalah wanita yang paling mengenal Afar. Baiklah, Aira akan coba mendekati beliau. Mana tahu dia bisa mengulik informasi mengenai Afar dikit demi sedikit.

"Kamu ini gimana sih. Istrinya kok malah ditinggal gitu."

Omelan sang Mama mertua terdengar saat Aira tiba disana. Namun pria yang diomeli justru terlihat santai, sudah bersiap menyendokan nasi goreng kedalam piringnya.

"Afar lapar Ma."

"Alasan aja kamu." Bu Ninggrum melototi Afar. Namun setelahnya tersenyum lebar pada Aira kemudian menyuruh menantunya itu untuk ikut duduk. Aira manut. Dia mendudukan diri disamping Afar sesudah menyalami kedua mertuanya itu.

Tidak ada obrolan yang serius selama sarapan belangsung. Pak Satrio dan Bu Ninggrum lebih banyak membahas mengenai kelulusan Aira dan menanyakan apa rencana Aira kedepannya. Mereka juga meminta maaf karena tak bisa datang ke acara wisuda Aira kemarin karena dihari yang sama mereka menghadiri acara pernikahan keponakan Bu Ninggrum di Medan. Sebenarnya sejak awal kedua mertuanya itu memilih untuk datang ke acara wisuda sang menantu. Tapi Aira meyakinkan bahwa tak masalah jika mereka tak datang. Acara pernikahan itu rasanya jauh lebih penting.

"Tapi Afar datang kan?"

Suapan Aira terhenti. Namun dia tak langsung menjawab. Diliriknya Afar yang juga ikut berhenti mengunyah.

"Afar gak sempat Ma. Ada proyek besar dan waktunya udah mepet. Bos gak ngasih cuti sebelum kerjaan Afar selesai."

"Kamu tuh ya benar-benar." Pelototan Bu Ninggrum kembali terlihat.

"Udah Papa bilang Afar. Urusin aja bisnis kita. Ngapain masih mau capek capek kerja bahkan sering lembur."

"Afar suka sama kerjaan Afar Pa."

Tak ada lagi jawaban. Semuanya mendadak bungkam dengan suasana sedikit tak enak.

Dalam keterdiamannya Aira berpikir. Seingatnya, Afar pernah bilang bahwa alasan pria itu menikahinya karena tak ingin semua fasilitas yang orang tuanya berikan dicabut. Tak ingin pula bila seandainya dicoret dari daftar warisan. Tapi melihat pekerjaan Afar yang menurut Aira sudah cukup mapan untuk menghidupi diri sendiri, agaknya alasan seperti itu kurang tepat. Lelaki itu bisa saja menolak keras karena dia sudah punya penghasilan yang cukup. Buktinya Afar tak pernah alfa mengiriminya uang belanja. Tapi apa itu sebenarnya adalah uang dari Pak Satrio ya? Ah Aira pusing. Masih banyak sekali teka-teki tentang Afar yang harus ia pecahkan.

---A&A---

"Aira kalau mau kerja gak papa. Tapi jangan nunda-nunda buat punya momongannya. Mama udah gak sabar nimang cucu."

Perkataan sang mama mertua saat Aira pamit tadi masih terngiang dibenaknya. Terus terpikirkan sampai ia dan Afar tiba di butik untuk fitting baju.

Aira melirik Afar yang duduk memainkan ponsel di sofa butik. Pria itu tidak bereaksi apa-apa akan ucapan sang mama, terlihat santai-santai saja. Padahal permintaan tersebut sudah sangat menjadi beban untuk Aira. Kenyataannya jika sebuah rumah tangga belum dikaruniai anak, pihak perempuanlah yang jadi omongan. Pun yang selalu ditekan juga pihak perempuan. Lihatlah, baru empat bulan menikah saja ia sudah dituntut untuk punya anak.

"Kak Afar. Aku udah selesai."

Pria itu mengangkat kepala dan mengangguk singkat. Lalu berdiri dan siap untuk pergi. Hanya begitu. Tidak ada euforia pengantin baru. Afar sudah siap sedari tadi karena pria itu hanya mencoba satu stel tuxedo. Sedang Aira, meskipun juga satu gaun, membutuhkan waktu yang lama untuk mencobanya. Jadilah pria itu menunggu sedari tadi.

Setelah ini mereka akan pergi kegedung resepsi untuk melihat seberapa jauh pengerjaan disana. Ini sudah H-2.

Lagi-lagi Afar sibuk dengan ponselnya. Ia tengah mengangkat panggilan, sudah sedari turun dari mobil tadi, bahkan terus berlanjut hingga tiba di dalam gedung. Aira sepenuhnya di abaikan. Mereka sudah seperti orang asing yang terpaksa disatukan oleh keadaan. Tapi memang kenyataannya begitu. Meski Aira sangat mencintai Afar, dia tidak benar-benar mengenal pria itu.

"Gue harus segera ke kantor. Lo bisa naik taxi?"

Tiba-tiba saja Afar bertanya. Aira yang tengah asik melihat proses dekorasi acara resepsi mereka besok menoleh kesamping dan menemukan raut tak bersahabat dari suaminya.

"Ada masalah kak?"

"Iya. Lo naik Taxi aja ya? Gue gak sempat lagi buat antar lo pulang."

Sebenarnya Aira ingin mengatakan tidak. Ia ingin ikut dengan Afar atau paling tidak diantar pulang. Tapi sepertinya keinginan Aira itu tidak bisa ia ucapkan. Wajah Afar benar-benar terlihat kacau. Agaknya betul sang suami tengah dilanda masalah. Pada akhirnya Aira mengangguk. Dan saat itu juga Afar berlalu dengan langkah cepat, meninggal sang pengantin wanita yang kembali merasakan kesedihan. Pernikahan macam apa ini.

Dengan langkah gontai Aira meninggalkan tempat itu. Dirinya tak lagi berminat dengan segala perencanaan yang sudah dibuat oleh sang mertua. Biarkanlah acara resepsi itu berjalan tanpa campur tangannya. Toh dia terlibat atau tidak, perlakuan Afar akan tetap sama. Barangkali mereka akan terus seperti ini sampai pernikahan ini diakhiri sendiri oleh pria itu. Ya Allah, memikirkannya saja Aira tidak sanggup. Bagaimana mungkin cinta yang sudah ia genggam ia lepaskan begitu saja.

Ya Rab, kuatkan Aira dalam menjalani semua ini.

To be continued.

Bukan Cinta Yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang