🤍 Chapter 3

87 15 0
                                    

Jawaban

-----A&A-----

Malamnya Pak Satrio benar-benar datang bersama sang istri, menaiki mobil mewah yang Aira taksir seharga delapan kali lipat dari hutang ayahnya.

Namun sayang, tidak ada sosok yang Aira cari. Sedikit membuat dirinya kecewa karena tidak bisa memastikan apa benar Afar anak Pak Satrio adalah orang yang sama dengan Afarnya dimasa lalu.

"Afar tidak bisa datang, ada urusan katanya."

"Iya Pak, tidak apa-apa."

Dengan ramah Agyo mempersilahkan Pak Satrio dan Bu Ninggrum masuk kedalam rumah lalu menuntun mereka ke sofa ruang tamu. Nengsih dibantu Aira datang membawa nampan berisi teh hangat beserta cemilan.

"Ini anak mu Yo?"

"Iya Pak, benar."

Setelah meletakan nampan cemilan diatas meja, Aira tersenyum ramah pada pasangan suami istri dihadapannya itu, "Assalamualaikum Pak, Bu." Katanya seraya menelungkupkan tangan di depan dada.

"Waalaikumusalam."

Bu Ninggrum membalas senyuman Aira, "kami semakin yakin meminta anakmu menjadi menantu kami."

"Benar. Jadi bagaimana apa Aira setuju?"

Sepertinya Pak Satrio bukan orang yang suka berbasa-basi. Aira bahkan baru saja mendaratkan pantatnya di sofa tapi pria paruh baya itu sudah menembaknya dengan pertanyaan inti.

Aira tak berani menatap siapapun. Ia memilih menunduk dengan memainkan jemarinya.

Sebenarnya, Aira belum punya jawaban, entahlah. Sebagian hatinya masih menolak namun sebagian lainnya menerima dengan alasan tidak tega pada sang Ayah yang harus melunasi hutang 100 juta itu.

"Jangan terburu-buru Pa. Lihat wajah Aira sudah tegang gitu." Suasana sedikit mencair karena ucapan Bu Ninggrum. 

"Silahkan diminum dulu teh nya Pak, Bu." Tawar Nengsih yang kemudian membuat pasangan suami istri itu meminum teh yang dihidangkan.

Sesudahnya mereka berbincang ringan dengan Aira yang hanya diam menyimak. Sesekali ia melirik kedua orang tuanya lalu membadingkan mereka dengan Pak Satrio dan Bu Ninggrum. Penampilan yang begitu timpang. Sang Ibu, meski mengenakan gamis terbaik yang wanita itu punya punya tetap saja tidak bisa menandingi gamis dan hijab Bu Ninggrum yang tampak mahal. Kemudian sang Ayah, dengan baju kemeja yang dibeli tahun lalu saat lebaran, dimana sudah sangat sering dipakai, terlihat lusuh bila bersanding dengan kemeja biru milik Pak Satrio. Kalau mereka sudah seperti langit dan bumi begini, kenapa Pak Satrio dan Bu Ninggrum meminta dirinya menikahi Afar, anak mereka? Apa dia hanya akan dijadikan budak?

"Sekerang Saya tanya lagi sama Aira. Apa kamu mau menikah dengan putra kami?"

Glup

Pertanyaan itu kembali terucap. Aira yang sempat menunduk kembali mengangkat kepala dan menatap Pak Satrio dalam diam. Ia gugup dan takut.

"Saya tidak memaksa," ujar pria itu lagi, "Ayah kamu masih punya waktu dua minggu untuk melunasi hutang itu."

"Du...dua minggu?"

Tatapan Aira beralih pada sang Ayah yang sayangnya tidak balik menatapnya. Pria itu memandang lurus kedepan dengan mengerjap beberapa kali, menahan bulir yang tampak mengenang disudut mata.

Fakta yang baru saja Aira dengar membuatnya semakin tersudut. Ayahnya tidak menyinggung soal ini sama sekali. Dua minggu? Yang benar saja, bahkan Aira tak yakin mereka bisa mengumpulkan uang sebanyak itu walau bekerja setahun penuh.

Bukan Cinta Yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang