Play the music instrument for better reading experience 👆
Bayangan itu tiba-tiba saja muncul dari balik dinding, samar dalam cahaya lampu tidur yang remang-remang, membentuk satu gambaran pria dewasa bertubuh tinggi dengan setelan hitam yang elegan.
Tetapi raut wajahnya tidak seanggun penampilannya.
Wajah pemuda itu mengabur seolah diselimuti asap tipis."Mark?" gumamku, mengenali bayangan itu.
"Halo sayang ..." dia membalas gumamanku dengan suara lembut tetapi penuh ancaman terselubung.
Pemuda itu menatapku tajam, penuh kilatan emosi yang berusaha dia tutupi. Iris mata hitamnya semakin menggelap dan aku pun merinding.
"Apa yang kau lakukan di sini?" aku menelan liur, berusaha tidak terdengar cemas atau khawatir.
"Ini 37 Maple Street bukan. Aku pulang ke rumahku sendiri."
Mark berjalan menghampiriku, aku tidak tahu kenapa tetapi rasanya ingin berlari. Tetapi kakiku seolah terpaku ke lantai.
Aku mengatur nafas yang tiba-tiba sesak dan terengah. Mark semakin dekat, dan matanya semakin menakutkan.
"Kau tahu kenapa kau takut pada komitmen saat dihadapkan pada suatu hubungan?'
Aku hanya menatapnya penuh rasa memelas.
"Aku tahu alasannya ..." Mark mendesis.
"Apa yang kau inginkan, Mark?" akhirnya aku mampu bersuara meskipun pelan.
"Kesetiaan," Mark menyela cepat.
"Pengabdian ..."
"Hanya itu yang kuharapkan darimu."
Mark menggeleng-gelengkan kepala seperti mengusir serangga yang masuk ke telinga.
"Tetapi kau tidak bisa melakukan itu. Loyalitasmu selalu berada di tempat lain. Di suatu tempat yang aku tak cukup beruntung untuk jadi bagian darinya."
Aku masih tidak mampu membela diri karena mungkin apa yang dikatakan Mark mewakili separuh dari kebenaran.
"Kau harus mengakui ..." Mark mengangkat telunjuk tepat di depan wajahku, tetapi aku hanya bisa menautkan alis. Alih-alih merasa marah, aku justru merasa bersalah.
"Kita melewati banyak hal yang luar biasa," Mark meneruskan.
"Kau bekerja, aku pun bekerja. Tetapi aku selalu berusaha mengurusmu berdampingan, selalu bersama. Setiap hari aku ingin bersamamu, kemudian tiba-tiba ..."Mark berhenti sesaat, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Kau semakin tenggelam dalam duniamu. Keajaiban musik! Sean Xiao! Pianis berbakat dan paling menawan di Wina."Aku menahan diri untuk tidak menitikkan air mata. Ucapan Mark bagiku bukan pujian, melainkan satu ironi yang menyakitkan.
"Kau tidak memerlukan aku! Kau tidak bicara denganku lagi! aku bukan siap-siapa bagimu!" Suara Mark tiba-tiba semakin meninggi, ekpresinya rumit dan menahan tangis.
"Kumohon Mark ..." aku berbisik, dalam upaya lemah menghibur hati pemuda yang tengah kacau itu, aku mengatakan satu kalimat yang aku ragukan kebenarannya. Tetapi seringkali aku ucapkan, berharap suatu hari nanti keraguan itu perlahan menghilang.
"Aku mencintaimu Mark ... kau tampan, cerdas, dan baik hati. Kau—terlalu baik untukku."
Mark menggeleng lagi, kali ini matanya terpejam rapat, ingin memungkiri apa yang ia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...