Can't Help Falling In Love
Malam menjelang, menghadirkan bayangan rembulan di permukaan danau. Di kamar mereka yang berada di lantai dua penginapan, Yibo menyalakan beberapa batang lilin, di samping cahaya kandelar terang benderang.
"Lilin?" Sean keluar dari kamar mandi, menggosok wajah dan rambut dengan handuk. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam di restoran dan sudah waktunya beristirahat, menghabiskan lebih banyak waktu untuk bicara berdua. Yibo sudah merencanakan piknik singkat ini, jadi dia nampak antusias menciptakan suasana agar jadi lebih romantis.
Yibo menoleh, mengamati wajah dan tubuh Sean penuh gairah cemerlang.
"Kupikir suasana akan jadi lebih romantis dengan lilin."
"Bukannya lampu sudah terang?" Sean tersenyum kecil.
"Akan kumatikan."
"Kau berniat tidur sekarang?" Sean mengambil remote tv di meja. Di satu meja lain yang berada pada satu sisi ruangan kamar luas itu, ada satu jambangan besar berisi tangkai-tangkai mawar hidup yang masih segar, dan satu piring berisi apel dan jeruk lengkap dengan pisau buah untuk memotong.
Gerakannya terhenti sesaat ketika dia tanpa sengaja menatap ke arah meja.
Pisau itu..
"Kau ingin menonton televisi?" Suara Yibo mengagetkannya.
"Ah ya -- " Sean tersentak, mengalihkan fokus pada remote tetapi tangannya bergerak cemas di luar kendali dan remote itu pun terjatuh.
"Ada apa Sean?"
Yibo mendekat, berjongkok untuk mengambil remote di lantai.
"Lagi-lagi kau cemas," Yibo menyerahkan remote tetapi kali ini Sean menolak.
"Tidak usah nonton televisi, aku mau langsung istirahat."
Dia berjalan menuju satu sofa panjang dilengkapi meja kaca. Dia duduk dengan satu kaki diluruskan, lutut dan betisnya masih berdenyut ngilu.
"Kau benar. Sebaiknya kita tidur, tapi tunggu sebentar, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Yibo mengambil piring buah beserta pisau, menaruhnya di meja depan Sean.
"Tidak apa-apa kan kalau kita mengobrol sambil aku makan apel?" Yibo duduk di sofa tunggal seberang meja. Dia mengambil satu butir apel dan pisau, lalu mulai mengupas dan mengirisnya.
Mata Sean tertuju pada pisau di tangan Yibo, mengamati setiap gerakan mengupas dan memotong, nyaris tanpa berkedip. Dia menahan nafas saat rasa ngeri merambati tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Mengiris, memotong, laksana pisau.
Beberapa peristiwa mengiris hatinya, beberapa keping kenangan buruk memotong hidupnya.
Sean memejamkan mata, mengelakkan pemandangan di depannya.
Pisau itu --
Aku melihat pisau semacam itu melukaiku, melukai Mark.
Darah mengalir
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...