Enam bulan kemudian
Pelangi--
Kapan terakhir kali dalam hidupnya ia melihat pelangi?
Sean tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lengkung warna warni di angkasa, berlatar belakang langit biru, dan padang rumput hijau serupa hamparan permadani lembut, menyatu menjadi satu lanskap menakjubkan bagaikan dalam ilusi.
Ini adalah perjalanan pertama mereka setelah Sean dinyatakan sembuh dan keluar dari pusat kesehatan mental pada awal musim gugur tahun ini. Wang Yibo mengatakan bahwa ayahnya, Tn. Wang memiliki tanah pertanian luas di dataran tinggi, memelihara sekawanan domba, dan membangun sebuah rumah pertanian yang luas untuk melewatkan masa tuanya yang damai dan menyendiri.
Mobil yang dikemudikan Wang Yibo menanjak perlahan-lahan, melintasi hamparan padang rumput kemudian berhenti di sebuah rumah pertanian. Sebagian besar bangunan rumah terbuat dari kayu yang dipoles licin mengkilap, panel jendelanya di cat dengan warna lebih cerah. Sebagian dinding berwarna merah tua dengan kusen putih, kontras dan menarik, membuat siapapun merasa tertarik untuk mengunjunginya.
"Ayah bilang sejam lalu baru turun hujan," Yibo mematikan mesin mobil dan membuka seatbelt.
"Karena itulah ada pelangi," ia melongokkan kepala dari jendela, melihat ke lengkung pelangi di atas sana. Sama seperti Sean, ia mengagumi keindahannya. Hanya tidak terlalu dramatis.
Sean tersenyum, membuka pintu dan bersiap turun.
"Hati-hati sepatumu. Rumputnya masih basah," Yibo memperingatkan.
Sean mengangguk, menginjakkan kaki di rumput basah, ia disambut desir angin sejuk dari arah pegununungan. Tatapannya kembali menyusuri barisan pepohonan yang membingkai tanah pertanian milik ayah Yibo, serta gugusan hutan cemara di kejauhan.
Bersamaan dengan Yibo turun dari mobil, seorang pria berusia lima puluh tahunan membuka pintu depan rumah pertanian dan melangkah ke teras kayu.
"Ah, ini dia!" Pria itu mengenakan celana panjang hitam, t-shirt putih dan jaket coklat tua yang trendi untuk pria seusianya.
"Hai ayah," Yibo membanting pintu mobil dan melambai.
Yibo dan Sean berjalan beriringan menghampiri pria yang disapa ayah. Dia Tn. Wang.
"Kau bocah nakal, apakah kehidupan kota membuatmu lupa rumah pertanian warisan kakekmu?" Tn. Wang menyambut putranya dengan pelukan singkat dan tepukan di bahu. Kemudian matanya tertuju pada Sean.
"Dan siapa ini?" Ia tersenyum lebar.
"Ah, ini Sean," Yibo mengulum senyum, terlihat canggung. Mungkin ini untuk pertama kalinya dia mengenalkan seseorang pada orang tuanya. Dia melirik Sean, yang segera mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan.
"Sean ini ayahku."
"Senang bertemu denganmu, Tn. Wang."
Sean menampilkan senyum ramahnya.
"Rupanya Yibo sudah memiliki seseorang," komentar Tn. Wang, mencium aroma kisah cinta yang tajam. Dia tertawa singkat, dan mengangguk pada keduanya.
"Sebelum Yibo mengajakmu berkeliling, akan kuambilkan minuman."
Tn. Wang berjalan lebih dulu ke dalam rumah, Yibo memberikan isyarat pada Sean untuk mengikutinya.
🌸🌸🌸
Domba-domba itu berkeliaran bebas, warna bulunya putih dengan bercak hitam. Mengingatkan Sean pada beberapa gambar di majalah National Geography. Mereka mencium-cium rumput segar, menggigit dan menguyahnya perlahan-lahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...