Play this sad and hurtful piano instrumental for better reading experience 👆😣
Senja ini sama seperti beberapa bulan lalu. Langit muram musim gugur, angin dingin yang menampar pepohonan mengeluarkan bunyi siulan yang menyayat kesunyian. Berdiri kaku dengan seikat buket bunga warna warni di tangan, Wang Yibo menyaksikan orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, dengan ekspresi yang berbeda-beda. Sekilas tak ada yang akan menyadari satu persamaan yang absolut diantara orang-orang itu selain warna seragam mereka.
Bahkan sebelum hari ini, dia tak terlalu menyadarinya.
Hari ini dia melihat satu persamaan itu. Di antara berbagai macam ekspresi yang bisa ia tangkap dari raut wajah asing yang melintas, mereka semua memiliki tatapan yang kosong. Tanpa gairah hidup, tak mengenal dunia tempatnya berada, tak mengenal diri sendiri.
Kekosongan itu, hilangnya sinar kehidupan di mata mereka, dia yakin tidak terlahir begitu saja. Ada yang kehilangannya atas nama kesedihan, masalah, kepercayaan, dan cinta.
Mereka semua adalah orang-orang yang putus asa. Jiwa-jiwa lemah yang melarikan diri dari kenyataan. Terbelenggu imajinasi yang tak berbentuk. Mereka hanya melihat kegelapan bahkan di bawah sinar matahari yang terang benderang.Sebuah pemikiran yang tampaknya cukup bijaksana melintas di belakang kepalanya. Jika sebuah tanaman bunga mati karena kurangnya cahaya matahari, dikarenakan awan gelap menyelubungi matahari itu, bukanlah tindakan tepat jika seseorang menyalahkan matahari, atau pun awan atas kematian tanaman bunga itu.
Tetapi, bunga itu juga tidak bersalah.
Yibo kembali melayangkan pandang pada langit senja di atas sana. Masih berdiri kaku di depan bangunan klasik dengan gaya arsitektur Georgian yang mendominasi. Sebuah bangunan luas dan dirancang dengan sangat apik dan artistik, awalnya merupakan asrama biarawati yang bernama Kapel Rosalin. Beberapa tahun yang lalu, asrama ini dialihfungsikan menjadi fasilitas umum, dengan campur tangan dari beberapa orang donator tetap. Namanya sendiri tidak pernah berganti. Hanya ada penambahan satu kata yang mengubah penilaian dan pandangan setiap individu terhadap tempat ini.
Rosalin Mental Health Center.
"Dr. Wang,” suara seorang wanita muda terdengar samar diantara deru angin.
Wang Yibo menoleh. Seorang perawat berseragam biru muda menghampirinya. Dia berwajah manis dan ramah. Tanda pengenalnya bertuliskan nama Li Qin.
“Ya,” ia menyahut, mengangguk dan tersenyum seramah mungkin.
“Dia sudah bisa ditemui. Kondisinya sudah cukup tenang.”
Hatinya mulai diliputi emosi pahit yang melankolis. Yibo mengangguk, mengatupkan bibirnya yang mendadak dingin. Dia mulai melangkah mengikuti suster Li Qin. Setiap Langkah yang ditempuh terasa bagaikan satu perjalanan sulit lagi, untuk ke sekian kali.
“Sebenarnya dia sudah bisa diajak bicara dan terlihat lebih tenang. Tapi aku masih khawatir atas reaksinya jika bertemu dengan orang lain," suster Li Qin berkata dengan tempo cepat dan nyaris sulit ditangkap.
Yibo mengangguk lemah.
Akhirnya setelah berjalan menyusuri koridor yang cukup panjang, suster Li Qin berhenti di depan sebuah pintu kamar bertuliskan angka 23.
Sebuah kaca transparan serukuran setengah kali setengah meter memungkinkan aku melihat ke dalam kamar. Di dalam sana, di atas tempat tidur, duduk Mr. Sean yang sangat tampan. Pemuda itu tampak tengah merenung, tatapannya kosong menatap ke satu titik di luar sana, melintasi jendela yang lebih kecil, yang menembus langsung ke sebuah taman minimalis di tengah-tengah bangunan besar itu.
“Sudah satu jam dia duduk seperti itu, tidak berubah posisi juga tidak bicara,” suster Li Qin berkata, mengawasi pasien di dalam kamar.
“Apa dia sudah makan?” tanya Yibo.
Suster Li Qin menggeleng, “Tadi pagi seorang perawat mendesaknya untuk minum segelas susu. Dia memang berhasil membujuknya, tetapi dia mendapat satu goresan yang cukup dalam di lengan.”
Yibo terkesiap.
“Separah itukah?”
“Kadang bisa lebih buruk dari itu, tapi denganmu dia bisa sangat penurut seperti anak yang baik.”
Suster Li Qin menghela nafas.
“Kurasa aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang gejala-gejala umum ini.”
Yibo mengangguk spontan. Bukan karena sudah tahu, melainkan lebih karena dia tidak ingin mendengar bagian bagian yang buruk lebih banyak lagi. Sudah satu pekan lebih dia pergi keluar kota dan membiarkan Sean di bawah perawatan dokter lain.
Suster Li Qin menoleh padanya lalu pada buket bunga, seperti baru teringat akan sesuatu. Dia bertanya dengan nada penasaran.
“Aku merasa kunjunganmu kali ini agak berbeda. Buket indah itu, apakah berkaitan dengan momen tertentu?”
Yibo kembali mengangguk lemah. Dia tidak mungkin melupakan bagian penting dari satu pasien istimewa. Tak ada satu pun perawat atau dokter di sini yang mengingat momen istimewa pasien. Tapi tentu saja ia tidak bisa menyalahkan mereka. Bagaimana pun menghafal momen bukan bagian dari deskripsi pekerjaan terlebih lagi jika itu tidak memiliki sangkut paut dengan mereka.
Tapi buat dirinya tentu berbeda. Hari ini merupakan hari istimewa buat sang pemuda yang tengah melamun di dalam sana. Dan Yibo, tentu saja sangat berkaitan dengan hal itu.
“Hari ini ulang tahunnya,” bisik Yibo lirih, nyaris sedih.
“Oh,” suster Li Qin bereaksi singkat.
“Selama kami berkenalan dan menjalin hubungan, ini pertama kali aku bisa memberikan hadiah dan merayakan momen istimewa bersama."
Suster Li Qin mengangguk pelan.
“Anda membawa buket bunga, itu sudah cukup manis.”
Yibo tidak menjawab dan tanpa sadar memasukkan tangan ke dalam sling bag Gucci mengkilat yang tersampir di bahu. Ujung jarinya menyentuh permukaan kotak kecil yang dingin di dalam tas.
Suster Li Qin menyentuh lengan Yibo dan berkata,
“Anda bisa menemuinya langsung.”
Yibo mengangguk ragu dan merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya dari ujung jari kaki sampai kepala. Dia menghela nafas panjang dan mengawasi dengan tegang tangan suster Li Qin yang memutar knob berwarna kuning kusam.
Pintu terbuka tanpa suara namun pemuda di dalam sana tidak bereaksi seolah tidak mendengar apa-apa.
“Hai, doktermu yang tampan ingin menemuimu,” suster Li Qin berkata dengan manis.
Pemuda itu masih tidak bereaksi.
Suster Li Qin mundur dan mengisyaratkan Yibo untuk masuk.
Melangkah ke dalam ruangan berukuran sepuluh kali sembilan meter itu, Yibo merasa aura kehampaan dan depresi menyergap dengan cepat. Langkah kakinya terus maju tetapi rasanya waktu bergulung surut ke belakang. Mencoba untuk bersikap santai, ia menarik sebuah kursi dekat sebuah meja yang difungsikan untuk menyimpan benda-benda pribadi pemuda itu. Yibo menempatkan kursi di samping tempat tidur dan duduk sambil menatap bagian samping wajah Sean.
“Hai, apa kabar?” ia menyapa dan mencoba terdengar setulus mungkin.
Sean menggerakkan jemarinya, meremas ujung selimut yang menutupi sebagian kaki.
Yibo terdiam sejenak, tak tahu harus mengatakan apa. Sebenarnya ada banyak yang ingin ia ceritakan padanya, tetapi ia kehilangan banyak kata-kata, sebanyak Sean kehilangan keyakinannya pada dunia nyata dan memilih tinggal dalam imajinasi.
“Selamat ulang tahun…” akhirnya Yibo berkata langsung ke intinya. Dia menaruh buket bunga di samping pemuda itu.
Sean masih diam, bahkan sama sekali tidak mengalihkan pandangan.
Yibo agak bingung sekarang, kemudian ia memberanikan diri untuk duduk di tepi tempat tidur dan langsung berhadapan dengan Sean.
Wajahnya yang tampan seputih kertas, bibirnya merah muda pucat dan tidak terawat. Rambutnya yang sudah tumbuh agak panjang menyentuh kerah baju, menciptakan kesan anggun sekaligus seram.
“Aku membawa hadiah ulang tahun untukmu,” Yibo mencoba tersenyum meskipun miris, lantas suatu ingatan buruk mengusik benaknya dan ia menyadari bahwa ia telah melakukan sesuatu yang kurang menyenangkan.
“Aku minta maaf, sebenarnya aku agak sibuk akhir-akhir ini, sudah sepekan lebih aku meninggalkanmu," ia menelan liur pahit.
Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari dalam tas. Yibo mengeluarkan sebuah kotak kecil hitam bertuliskan merk cartier dan membukanya perlahan. Di dalamnya terdapat sepasang cincin yang indah dan berkilauan dari jenis permata terbaik.
Yibo mengambil cincin itu dari dalam kotaknya lalu dengan hati-hati ia meraih tangan Sean.
Arus dingin menular ke telapak tangannya saat ia menggenggam tangan pucat dan kurus milik pemuda di hadapannya. Suhu tubuhnya benar-benar dingin dan ia bertanya-tanya alam hati apakah pemuda itu tengah menderita demam atau penyakit. Mengapa tangannya sangat dingin. Apakah dinginnya hati seseorang akan berpengaruh juga pada suhu tubuh.
Rasanya tidak kan?
Yibo meraih jemari ramping Sean, memasangkan cincin itu ke jari manisnya. Kemudian dengan lembut membelai tangan itu sehingga memberikan kesan nyaman pada Sean.
Dia lega bahwa sejauh ini reaksi pemuda di depannya tidak berlebihan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, bahkan Yibo merasa berhadapan dengan manekin. Tapi kelegaan itu tidak bertahan lama, ada emosi lain yang menyerang, bukan ketakutan atau pun rasa ngeri, melainkan satu emosi lain yang justru paling ia takuti.
Kesedihan.
Sean perlahan mengalihkan pandangannya dari jendela dan melekatkan tatapannya pada Yibo.Sepasang mata sebening kaca tanpa kehidupan, dan itu mengoyak perasaan. Yibo tidak berpikir akan ada hari ini, di mana kehadiran dirinya tidak mampu meredakan depresi yang merenggut senyuman Sean.
Yibo menunduk dalam-dalam. Tidak berani membalas tatapannya. Saat ia kembali mengangkat wajah, ia menangkap sekerlip cahaya yang familiar, yang pernah ia lihat, yang pernah sangat dekat di hatinya.
Sean menggerakkan jemari, memandang cincin yang terpasang di jari manisnya.
Dia menatap benda cantik itu dengan berbinar-binar, sejurus kemudian tatapannya beralih pada Yibo. Dia mengedipakan mata lambat-lambat mencoba mengenali wajah sang dokter dan mengakses ke dalam memorinya yang sempat memudar.
Yibo melihat bibir pucatnya bergetar mencoba melafalkan sesuatu.
Namanya.
“Yibo...” dia berbisik.
Suaranya masih sama. Yibo mengangguk dengan menahan air mata sekuat tenaga.
Sean tersenyum padanya.
Senyuman itu masih manis, tulus, dan hangat.
Masih seperti yang dulu.
“Ya,” jawabnya tersenyum di sela air mata yang akhirnya mengalir.
“Ini aku. Kekasihmu.."
Dia memeluk tubuh ringkih itu, mencium kening Sean dan berbisik diantara air mata yang mulai bercucuran.
"Cepatlah pulang. Setelah kau keluar dari tempat ini, kita akan menikah."
Sean tidak bereaksi. Hanya menatap kosong pada kilau di jarinya. Bibirnya bergerak-gerak, lamat-lamat ia menggumamkan sebuah senandung.
Satu lagu yang semakin menghujamkan rasa pedih di hati Yibo. Saat senandung itu terus mengalir, ia semakin mempererat pelukannya.
"Sekarang sudah tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja, Sean. Jangan takut..."
Sean masih tidak menanggapi perkataan dokternya dan juga kekasihnya. Separuh jiwanya masih melayang diantara gema lagu masa lalu.
Tubuh Yibo agak gemetar, seolah ada ratusan serangga merayapi tubuhnya, kala suara merdu Sean melantunkan nada itu.
Lavender's blue
Lavender's green
When I'm king
You should be queen
To Be ContinuedStill waiting for happy ending?
See you next chapter
Please vote 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...