🌺 Happy Reading 🌺Wang Yibo menarik mundur wajahnya dari pemuda manis itu. Dia sudah lama siap jika momen ini tiba, hari di mana penyamarannya terungkap. Tetapi dia tak mengantisipasi akan secepat ini.
Dengan cepat Yibo mengembalikan ketenangannya. Begitu pula dengan Sean. Satu kilatan ekspresi yang tak terjangkau muncul sekilas di matanya sebelum kembali mundur dan masuk ke balik topeng tenangnya.
"Terkejut?" Sean berbisik merendahkan.
"Hmm -- dari mana kau tahu?"
"Apa itu penting? Lagipula berapa lama sebuah penyamaran konyol bisa bertahan. Seorang warga senior mempermainkan pendatang baru di lingkungannya, kau mengira itu keren? Kukira kau terlalu banyak menonton serial picisan di televisi."
Wang Yibo memejamkan mata. Dia menegakkan punggung, kembali duduk menghadapi Sean dengan tenang.
"Aku memiliki alasanku sendiri," Yibo berusaha membela diri, satu keuntungan baginya karena Sean bukan tipe orang meledak karena emosi. Setidaknya satu jeda singkat dalam kemarahan terpendam bisa ia manfaatkan untuk menjelaskan. Peluang Sean untuk percaya mungkin sangat kecil tapi itu layak dicoba.
"Aku tahu. Sayangnya, aku tak perlu mendengar," Sean berkata pelan, datar, namun tak tergoyahkan.
Wang Yibo menyentuh tangan Sean, menepuk nepuk perlahan. Sikap spontan seseorang jika ingin menenangkan orang lain, ajaibnya, Sean benar-benar mulai tenang.
Keruh air mukanya perlahan-lahan berkurang.
"Aku sudah lama memperhatikanmu," Yibo mengatakannya sepenuh hati, teriring tatapan lembut dan penuh arti.
"Oya? Kurasa bukan memperhatikan tapi menguntit," Sean menyeringai samar, memutuskan tidak semudah itu untuk percaya.
"Aku melakukannya karena aku menyukaimu."
"Terima kasih."
"Jangan menolak cinta seseorang," Yibo memohon.
"Kenapa? Kau pikir dengan wajah tampan dan kepintaran bicara maka semua akan lancar? Kau salah. Selain hal itu, kau harus memiliki hati yang tulus. Wajahmu memang mengagumkan tetapi aku tak melihat ketulusan itu sedikit pun."
"Dengarkan ceritaku dulu. Setelah itu kau boleh percaya padaku atau tidak."
Kalimat itu nampaknya berhasil menggali rasa penasaran Sean hingga timbul ke permukaan. Dia mengamati wajah pemuda yang baru saja terbuka samarannya itu. Bertanya-tanya dalam hati topeng apa lagi yang tengah ia tampilkan.
"Apa kau layak dipercaya? Ada berapa kebohongan lagi yang tersisa? Untuk satu alasan yang bernama 'suka'."
"Kau sendiri yang memutuskan. Apa aku layak atau tidak."
Sean melayangkan tatapan hampa, lebih melukai Yibo dibanding kan reaksi kemarahan atau impulsif lainnya.
Pemuda berkacamata itu serupa bayangan yang sulit dijangkau. Yibo mendesah putus asa. Namun masih ingin mencoba.
"Baiklah. Ceritakan padaku apa yang ingin kau ceritakan. Katakan apa alasanmu mendekatiku dengan cara menyamar. Jika kali ini kau bisa membuatku percaya, mungkin esok hari aku atau pun orang lain bisa mempercayaimu lagi."
Wang Yibo tersenyum tipis. Membiarkan Sean menyalahkannya, juga sedikit merasa bersalah karena dia salah paham. Sejujurnya, bukan kemarahan atau kekecewaan Sean yang membuatnya terhempas kali ini. Ada hal lain yang cukup sensitif untuk ia kemukakan. Dia memilih untuk tidak bersikap sembrono.
"Aku pertama kali melihatmu tiga tahun lalu di sebuah konser musik di Wina," Yibo berkata, ada kesedihan menyelimuti suaranya.
"Dan seperti semua pengagummu yang lain, aku terseret dalam pesona luar biasa, penuh semangat, sekaligus menyakitkan. Semua fantasi mulai tercipta dalam diriku yang tak pernah merasakan cinta sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...