27th Petal

504 109 21
                                    

Sean tak pernah bermimpi bahwa mungkin ia akan berakhir dengan menjadi korban obsesi hantu. Dia tersadar dari pingsan karena arus dingin mengaliri kaki dan tangannya.

Hari sudah malam. Dia bisa melihat langit gelap dari jendela yang tidak tertutup tirai. Ruangan pun gelap. Tangan dan kakinya terasa kebas, dia tidak tahu berapa lama ia pingsan. Tak ada suara apapun, baik di luar mau pun di dalam ruangan. Rumah ini seakan mati.

Langkah pertama, ia harus berjuang bangkit dan menyalakan lampu. Mengerahkan seluruh tenaga, ia berhasil tersaruk-saruk menuju ke satu dinding di mana saklar berada. Bunyi klik berulangkali terdengar, tapi lampu kandelar di langit-langit tidak juga menyala.

Mati lampu!

Matanya mengerjap cepat, mendongak ke langit-langit, lampu itu tampak baik-baik saja. Atau mungkin rusak, ataukah tidak ada aliran listrik..

Mendesah pelan, Sean menggapai satu rak pajangan di sudut, di atasnya ada dua batang lilin besar dalam penyangga logam. Dalam keremangan, Sean membuka laci. Mengaduk-aduk isinya untuk mendapatkan korek api.

Batang-batang korek api nyala dan padam beberapa kali, tangannya yang gemetar membuat proses menyalakan lilin menjadi sulit dan lama. Dia menarik nafas lega saat dua batang lilin berhasil dinyalakan. Cahayanya tidak seterang lampu, tapi di tengah kegelapan, dua batang lilin ini begitu cemerlang.

Kepalanya terasa berat dan pikirannya agak linglung. Sekilas ia mengerutkan kening, merasakan kehadiran sosok lain di sekitarnya. Harusnya tidak ada siapapun di sini. Tidak mungkin ada orang lain. Sampai akhirnya ia tersadar...

Sean berbalik secepat mungkin, matanya menatap dalam pada sosok yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi piano. Aura gelap yang akrab, wajah pucat yang beberapa kali pernah ia lihat.

Hantu...

Pemuda itu duduk dalam kegelapan, di kursi piano. Saat dia berdiri, asap hitam tipis naik dari seluruh permukaan tubuhnya, mengubahnya menjadi penampakan menyeramkan dari hantu yang sesungguhnya.

"Hallo Sean?"

Suaranya menggema bagai dalam terowongan panjang dan kosong.

"Bagaimana kabarmu?"

Sean mundur selangkah.

"Si--apa kau? Di mana Yibo?"

Mata sang hantu menggelap, semakin menakutkan ketika nama Yibo disebut. Dia melangkah perlahan memutari piano, namun tatapannya tetap melekat pada Sean yang berdiri gemetar.

"Duduklah Sean.." pemuda hantu memerintahkan dengan suara lebih rendah tapi tegas.

"Di mana Yibo?"

"Duduklah.."

"Tidak!"

"Berhenti bermain-main, ini sudah selesai!" Hantu itu membelalak padanya, asap tipis masih mengepul dan nyaris menjangkau saat si pemuda makin mendekat.

"Kemampuan bermain pianomu luar biasa, Sean," si hantu tertawa menggeram, asap itu pun bergerak seiring guncangan di bahunya.

"Dan juga pesonamu.." mata hitam kelam itu melekat lagi pada wajah Sean.

Air mata Sean meluncur jatuh, merasa tidak berdaya, ketakutan tak terperikan saat merasa di ujung hidupnya.

"Ada apa?" desis sang hantu. Puas melihat kesedihan Sean.

"Kau lupa minum obatmu? Semua sudah menganggapmu gila."

Dia masih berjalan perlahan, memutari Sean, mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.

𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang