🌺 Happy Reading 🌺
Matahari mengintip dari balik puncak Weterstein, menggenangi langit pagi dengan cahaya kemilau emas.
Langit biru begitu tenang.
Sean duduk di sofa, menatap jauh ke hamparan lavender biru keunguan. Sekilas di bawah siraman matahari pagi, puncak gunung dan padang bunga itu seolah satu kesatuan warna yang persis sama.
Sean menyesap secangkir teh panas yang dibuatnya beberapa menit lalu. Semua peralatan dapur lengkap, satu set cangkir keramik juga masih terlihat baru dan bercorak artistik.
Nampaknya benda-benda di rumah ini meski terlihat tua tapi dari jenis kualitas terbaik. Tetapi dia tidak membawa banyak keperluan grocery.
Sean merencanakan akan pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari pada sore nanti.
Sean melirik jam dinding. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Harusnya Paul sudah tiba.
Kemarin sore dia baru sempat memperbaiki jendela di kamar-kamar tidur di lantai atas dan perpustakaan.
Paul bahkan sempat membantunya memasang beberapa lukisan di ruang tidur utama yang ia gunakan, di ruangan tengah dekat piano, dan satu lagi di perpustakaan. Semuanya lukisan beraliran impressionis, tiruan dari pelukis Prancis favoritnya Pierre Auguste Renoir.
Suasana begitu hening. Sean menimbang-nimbang apakah ia perlu menyalakan televisi.
Ketika itu bel pintu kembali berbunyi nyaring.
Paul benar-benar tepat waktu.
Sean menaruh cangkir, bergegas menuju pintu.
"Selamat pagi.."
".....???"
Sean tertegun sejenak. Mulutnya sedikit terbuka, selintas kebingungan muncul di sorot mata beningnya.
Pemuda yang berdiri di depan pintu bukan Paul. Melainkan seorang pemuda yang berbeda. Sama seperti Paul, pemuda itu mengenakan setelan kasual, topi, dan menenteng kotak kayu berisi perlengkapan tukang.
Wajahnya pun merekahkan senyuman ramah seperti Paul.
Bedanya, pemuda ini lebih tampan. Sepintas lalu, dia seperti keturunan timur dan barat yang terbaik di kelasnya. Dia terlalu anggun untuk menjadi seorang tukang.
Tatapan Sean melingsir turun.
Dua kaleng cat dalam kemasan ember sedang ditaruh di lantai dekat kaki si pemuda.
"Se--lamat pagi," Sean tersenyum, menautkan alis. Dia mengerjap-ngerjap di balik kacamata.
"Mr. Sean? Bukan?"
"Ya. Kupikir Paul seharusnya datang kemari."
"Sayangnya, dia tidak bisa datang. Neneknya sakit dan mereka membawanya ke pusat kota."
"Oh?" Sean mengangguk-angguk.
"Aku Yibo, Wang Yibo. Rumahku di ujung jalan, tidak jauh dari kebun buah."
Pemuda itu mengangkat tangan, menunjuk ke satu arah. Untuk membuatnya lebih mudah, Sean mengangguk cepat dan kembali tersenyum.
Dia mundur dari pintu, membiarkan Yibo berjalan masuk melewatinya.
"Apa aku mengganggumu?" Yibo bertanya saat mengikuti langkah Sean menuju tangga. Tatapannya memindai seluruh ruangan di kala ia terus melangkah di belakang tuan rumah.
"Tidak. Aku baru saja akan bermain piano, aku harus memulai menulis simfoniku yang baru."
Keduanya menaiki tangga yang menikung tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...