Kaffee Alt Wein
Kafe itu memiliki design klasik dengan warna natural dan pencahayaan kekuningan menghasilkan nuansa retro, pemilihan ini nampak dimaksudkan untuk mencerminkan sisi tradisional.
Sean dan Crystal duduk di salah satu meja kursi kayu. Ada hiasan vas bunga kecil di tengah meja berisi dua kuntum mawar jingga yang masih segar dan ada beberapa jambangan besar lain yang ditempatkan di sudut ruangan.
"Aku mendengar senandung.." Sean memulai tanpa keyakinan penuh.
"Nadanya terdengar sedih."
Crystal memandanginya dengan senyum tipis tersamarkan.
"Aku tahu bagaimana kedengarannya. Kau boleh bilang aku pengkhayal. Tapi kupikir seseorang pernah meninggal di sana dan dia mencoba berkomunikasi denganku."
Mengabaikan tatapan kurang respek dari Crystal, Sean masih berusaha menjelaskan.
"Sean dengarkan aku," Crystal mengucapkan kalimat dengan nada bijak seperti seorang ibu yang menasehati anaknya.
"Tidak ada yang namanya hantu. mereka tidak nyata. Kau tinggal di rumah tua yang besar dan kau tinggal sendirian."
Crystal menjeda sejenak melihat reaksi Sean. Pemuda berkacamata itu mengalihkan pandang ke jambangan besar berisi mawar kuning di sudut kafe. Dia mendengar tetapi sulit menerima penyangkalan. Hanya dia yang melihat penampakan itu dan terasa sangat nyata. Bahkan ia masih mendengar gema lantunan piano tengah malam yang dimainkan pemuda misterius di rumahnya.Emmanuelle...
Indah sekali...
"Siapapun yang memiliki setengah imajinasi akan mengalami hal itu. Mungkin aku juga akan seperti itu," Crystal meneruskan.
Sean tersenyum hambar. Sejujurnya dia memaklumi mengapa orang tidak akan mudah percaya begitu saja akan cerita hantu. Banyak kisah dan film yang mengangkat cerita tentang hantu tetapi hanya sebagian kecil saja yang bisa melihatnya secara langsung.
Bisa melihat hantu memang bukan hal yang keren mau pun prestasi. Karena itulah Sean tidak bersikeras.
"Jika kau pikir dengan mengetahui masa lalu rumah itu kau akan mendapatkan jawaban atas setiap pertanyaan. Ada seseorang yang mungkin mengetahui sesuatu," ujar Crystal.
Sean melebarkan mata, merasa tertarik.
Sebelum pemuda itu mengatakan sesuatu yang memprovokasi keyakinannya, Crystal berkata lagi,
"Tetapi Sean, jika memang ada sesuatu yang terjadi, itu terjadi di masa lalu. Hal-hal seperti orang yang mati dan semacamnya, sudah terkubur. Apa pun yang terjadi, itu bisa dijelaskan."
Pelayan datang menyajikan makan siang berupa dua porsi steak dengan sayuran rebus dan saus jamur yang masih mengepul-ngepul dilengkapi dengan dua gelas air jeruk dan cinnamon rolls.
"Siapa yang bisa menjelaskan sejarah rumah itu padaku?" Sean mengambil set pisau dan garpu, mulai memotong makanannya.
"Pendeta Kris. Gereja St. Stephen. Satu kilometer dari rumah musim panas milikmu."
Sean tertegun sesaat kemudian tertawa singkat. "Astaga, aku benar-benar tidak tahu lingkungan baru ini. Kupikir tak ada gereja di sekitarku. Mungkin aku akan mengunjunginya sore ini jika ada waktu."
"Tidak heran, kau baru seminggu datang kemari dan sesuai dengan tujuan awal, kau bilang ingin menyendiri dan bukan menjalin persahabatan dengan siapapun," Crystal menanggapi.
Keduanya mulai menyantap makan siang sementara angan Sean mengembara pada seseorang.
"Ngomong-ngomong bagaimana tukang yang aku rekomendasikan padamu?"
Sean mengangkat wajah dari piring steaknya. Mengerjap-ngerjap beberapa saat kala nama tukang yang pertama kali datang ke rumahnya tiba-tiba sulit untuk diingat.
"Maksudmu..?"
"Paul."
"Ah ya. Itu dia. Paul," Sean tertawa gugup.
"Apa hasil pekerjaannya memuaskan?"
Sean meneguk air jeruknya sebelum menjawab, "Hari pertama Paul bekerja kupikir agak lumayan, tetapi tukang yang lain menggantikan Paul dan kukira dia agak -- yah, lambat dalam bekerja."
Crystal mengerutkan kening, lantas mengangkat bahu.
"Begitu ya? Aku jarang menggunakan jasa tukang dan sejauh ini hanya Paul yang lumayan memenuhi persyaratanku."
"Wang Yibo," Sean menggumam dengan senyuman misterius.
"Apa?"
"Namanya Wang Yibo. Dia tiba-tiba datang menggantikan Paul. Menurutku pemuda itu cukup menyenangkan dan terlihat seperti seorang professional. Aku sangat prihatin, pemuda dengan kepribadian menarik seperti dia mengambil profesi sebagai seorang tukang," Sean mengemukakan pendapatnya.
Crystal termenung beberapa lama, mendengarkan dengan seksama.
"Yah, aku tidak bermaksud mengatakan kalau profesi tukang itu rendahan. Tidak. Menurutku semua profesi itu baik asal tidak merugikan pihak lain. Aku hanya-- hmm, kupikir dia bisa menemukan profesi lain."
"Nampaknya kau memiliki perhatian khusus pada pemuda itu. Bukan salahmu jika kau merasa tertarik. Dia memang memiliki kualitas untuk membuat orang lain nyaman. Itu sesuai dengan kualifikasinya," Crystal berkomentar setelah merenung.
Sean mengawasi wanita di depannya dengan heran.
"Aku baru tahu kalau seorang tukang harus memiliki keahlian khusus seperti yang kau bilang. Mereka hanya memperbaiki dan mengecat rumah bukan?"
"Kau benar," Crystal tersenyum, tidak hanya Sean, bahkan wanita itu pun merasa heran.
"Tapi masalahnya, Wang Yibo yang kau bicarakan bukan seorang tukang. Aku tidak tahu jika ada yang lainnya, setahuku ada satu warga bernama Wang Yibo yang tinggal di komplek rumah musim panasmu. Dia seorang dokter."
Satu potongan steak terjatuh kembali dari tusukan garpu saat tangan Sean dirambati rasa dingin efek terkejut yang besar.
"Dokter?" Sean mengernyit.
Crystal mengamati reaksi Sean, tertegun melihat wajah tampan itu perlahan memucat.
Padahal aku sudah mempercayainya
Padahal aku sudah mulai membutuhkannya
Mengapa dia membohongiku?
"Kau nampak tidak nyaman. Maaf, anggap saja aku salah. Lupakan hal itu," Crystal berusaha memperbaiki suasana makan siang mereka.
Sesaat kemudian Sean kembali menyadari keberadaan orang lain di dekatnya dan berusaha bersikap biasa-biasa. Akan ia luapkan rasa shocknya lain waktu.
"Tidak apa-apa. Kau bilang dia dokter? Apa dia mengambil spesialisasi?" Sean diam-diam penasaran dan ingin terus menggali.
"Ya," Crystal berhenti mengunyah.
"Kudengar dia mengambil spesialisasi tahun lalu. Salah satu sepupu jauhku bekerja sebagai staff di pusat kesehatan mental di Seefeld. Dia seorang dokter ahli jiwa."
Sampai di situ keinginan Sean untuk menggali informasi tentang Wang Yibo surut. Dia kehilangan minat dan kehilangan nafsu makan dalam sekejap.
Dengan tangan lemas, ia menaruh garpu dan pisau di sisi piring.
Hal apa lagi yang disembunyikan pemuda itu dariku?
Sean memenuhi isi hati dan kepalanya dengan pertanyaan.
"Sungguh mengherankan," ujar Crystal, terlihat memikirkan sesuatu.
"Mengapa dr. Wang menyamar sebagai tukang dan datang ke rumahmu?"
Sean tercekat, tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Bahkan sebenarnya dia tidak memiliki minat untuk mencari jawaban.
"Aku juga tidak tahu mengapa," ia mendesah, memijat ujung hidung lancipnya, mendengarkan satu gema suara dalam pikiran.
Di ujung siang hari kala keduanya meninggalkan kafe, Sean menyingkirkan semua prasangka. Kini dia hanya ingin segera menyelesaikan simfoninya kemudian kembali ke Wina. Meninggalkan semua omong kosong tentang hantu maupun dokter jiwa.
🥀🥀🥀
Kucing itu jenis angora, berwarna hitam dan putih, duduk melingkar di pangkuan Wang Yibo. Dia dan Paul tengah dalam perjalanan pulang setelah belanja peralatan tukang dan mengunjungi toko hewan.
"Seleramu agak buruk," Paul terkekeh. Melayangkan lirikan pada kucing itu.
"Kau sudah selesai mengejekku?" Yibo menaikkan sudut bibirnya.
"Kucing itu terlalu gemuk."
"Ini lucu," Yibo mengelus kepala kucing di pangkuannya.
"Entah Sean bisa menerima hadiah ini atau tidak. Tapi menurutku Miko sangat lucu."
"Miko?" Paul terkekeh lagi.
"Kau sudah memberinya nama."
"Aku tidak akan membuatnya terus berpikir. Jangan sampai dia memberi nama sesuai dengan nama pianis favoritenya."
"Bukankah itu unik?"
Yibo mendesis. Dia tidak mempedulikan godaan Paul dan menatap lurus sambil berpikir.
"Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tentang aku. Setiap hari aku mencari alasan untuk mengunjungi rumahnya. Melewatkan banyak detail pekerjaan rumah agar dia terus membutuhkan tukang. Entah sampai kapan ini berlangsung."
Nada khawatir dalam suara Yibo menandakan ada hal serius yang ia pikirkan. Paul tersenyum bijak dan mencoba menghibur.
"Kesan pertamaku tentang pianis itu cukup baik. Kurasa dia tidak akan mempermasalahkan hal itu. Apalagi ditambah hadiah kucing yang manis."
Yibo tersenyum miring, tetapi masih tidak menyahut. Hanya helaan nafas panjang berulang kali.
"Lagipula kau sangat tampan. Kuharap dia jatuh cinta padamu."
"Penjilat," gerutu Yibo.
Paul tertawa di sela fokusnya mengemudi.
"Kau hanya tinggal menyiapkan alasan bagus jika suatu hari penyamaranmu terungkap."
Kalimat itu tajam dan mengusik. Yibo seketika tertegun, benaknya memfilter banyak hal.
"Menurutmu apa dia akan marah?" Paul bertanya lagi membuat Yibo semakin tersiksa cemas.
Pemuda tampan itu menggeleng.
"Akan lebih baik jika dia marah," ia menggumam.
"Yang aku khawatirkan dia sama sekali tidak peduli.."
Wang Yibo melayangkan pandang keluar jendela.
Matahari hampir terbenam di balik pepohonan lebat. Menyambut gelap yang akan segera datang.
Diam-diam ia merindukan hari esok dimana ia bisa kembali ke rumah musim panas Sean, dan menanyakan semua pertanyaan yang telah tersimpan.To be continued
Hai Yizhan Lovers
Bagaimana chapter hari ini?Vote and comment if you like it 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧)
FanfictionDemi menciptakan satu simfoni yang indah, seorang pianis bernama Sean memutuskan menyepi di sebuah rumah musim panas di kota kecil Seefeld yang dibelinya setahun lalu. Dikawal keheningan dan suasana damai padang lavender, Sean menemukan satu simfon...