22th Petal

547 110 18
                                    

Let's play this beautiful song 👆

💖 Happy Reading 💖

Pagi menjelang pukul sembilan, Sean tiba kembali di depan pintu rumahnya, menenteng travelling bag yang ia ambil dari bagasi mobil Yibo, pemuda manis berkacamata itu melambai dengan senyum bahagia terwujud di wajahnya.

"Terima kasih, sampai ketemu."

Yibo balas mengangguk dan melambai.

"Semoga harimu menyenangkan," Yibo menyembulkan kepala dari kaca mobil.

"Aku akan berkunjung nanti malam. Sepertinya sepanjang hari ini aku cukup sibuk."

Sean menaikkan sudut bibirnya, membentuk seringai.

"Aku akan menunggu."

Yibo mengedipkan sebelah mata sebelum menaikkan kaca mobil dan menderu pergi meninggalkan halaman.

Sean berdiri beberapa lama di halaman, mengawasi semak bunga, rerumputan, dan barisan cemara pensil di ujung halaman.

Kurasa taman ini butuh sedikit sentuhan, Sean menimbang-nimbang.

Dia harus meminta rekomendasi Paul siapa kira-kira orangnya yang handal dalam mengurusi kebun dan halaman.

Sean membuka pintu rumah, dan baru saja melangkah masuk ketika derum sepeda motor memasuki halaman. Dia menoleh, alisnya bertaut.

Seorang kurir berseragam turun dan menghampirinya. Seketika Sean teringat, barang yang dikirim kurir itu pasti kiriman dari dr. Haikuan di Wina.
Barang itu dikemas secara khusus dan juga diperlakukan hati-hati.

Setelah mengucapkan terima kasih, Sean masuk ke dalam rumah dan kali ini tak ada siapapun yang datang mengganggunya beristirahat. Sean hampir yakin, ritual pengusiran roh jahat oleh pendeta Kriss mungkin berhasil, dan itu langkah yang paling tepat yang bisa ia ambil.

Hawa mencekam dan kesunyian mendalam di rumah itu terasa lebih bersahabat. Suara Miko menambah kedamaian yang ia rasakan.

Sean duduk di kursi meja makan, memutar-mutar botol kaca berisi obat yang dikirim dr. Haikuan khusus untuknya.

Dia merasa tidak memerlukan obat ini.

Setidaknya untuk hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan sebelum ia memutuskan kapan akan kembali ke Wina. Kembali ke kehidupan dan tempatnya semula sebagai seorang pianis idola. Meninggalkan kesunyian rumah musim panas beserta segala misteri di dalamnya, meninggalkan keindahan padang lavender.

Untuk Yibo, dia tidak perlu khawatir. Mereka bisa bertemu kapan saja, jarak dan waktu rasanya bukan masalah besar, demi hubungan yang baru saja terjalin, dan mulai mengenalkannya kembali pada satu emosi asing yang telah lama ia lupakan.

Kebahagiaan.


🥀🥀🥀


Karena bidang studi dan profesinya, waktu yang dihabiskan Wang Yibo di depan orang-orang bermasalah jauh lebih lama daripada waktu yang ia habiskan di sekitar manusia normal.

Dia tidak mahir dalam acara-acara sosial, tapi sebenarnya itu tidak masalah buatnya. Terkadang di depan pasiennya, ia merasa jauh lebih nyaman.

Namun siang ini, saat ia mengunjungi yayasan di kota Innsbruck yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan Seefeld, dia bertemu seseorang yang terlihat cukup aktif dalam satu kegiatan sosial yang diadakan di depan gedung yayasan.

Pendeta Kriss, batin Yibo.

Pemuda itu mengawasi dari kejauhan dan menunggu pendeta Kriss mengakhiri sebuah pidato singkat yang menjelaskan tentang kemuliaan sebuah program bantuan sosial.

Tak lama beberapa mahasiswa nampak mengobrol dengan pendeta Kriss, dan ketika mereka meninggalkan si pendeta sendirian, Yibo bergegas menghampirinya.

"Pendeta Kriss," dia menyapa serta membungkuk ringan.

Pendeta Kriss mengamati pemuda berpakaian jas lengkap di depannya.

"Anda??"

"Wang Yibo. Aku warga Seefeld juga, sebenarnya aku sempat beberapa kali mengunjungi gerejamu, tetapi--"

"Kau berhenti mempercayai entitas yang tidak nyata semacam kekuatan Tuhan," pendeta Kriss menukas seraya tersenyum.

"Ah, itu -- tidak seperti itu," Yibo terkekeh ringan.

"Katakan ada apa? Matamu nampak menyimpan sesuatu," Pendeta Kriss kembali ke topik utama, dia yakin pemuda ini memiliki maksud tertentu.

Sesaat Yibo merasa ditelanjangi dengan mudahnya pria itu membaca apa yang ia pikirkan. Jadi Yibo memutuskan untuk langsung ke inti.

"Kudengar beberapa hari lalu anda melakukan ritual pengusiran roh jahat di rumah musim panas milik Sean, pianis yang datang dari Wina."

"Wah, angin menyebarkan kabar lebih cepat dari yang kita duga," pendeta Kriss tertawa. Sejurus kemudian dia mengangguk.

"Kau benar. Mr. Sean datang padaku dalam keadaan linglung, memintaku mengusir roh jahat yang mengganggu. Tugasku adalah membantu siapapun yang meminta pertolongan. Jadi aku melakukan pengusiran roh jahat di rumahnya."

"Tidakkah kau memiliki kecurigaan bahwa Mr. Sean hanya berhalusinasi?" Yibo memiringkan kepala, menatap lekat pada wajah sang pendeta.

"Seseorang yang belum pernah melihat hantu akan mengatakan seperti yang kau katakan. Tapi aku memiliki keyakinan yang berbeda."

"Menurutku, jika Mr. Sean memang bermasalah, tindakanmu justru akan lebih memprovokasinya."

Pendeta Kriss tersenyum tipis, "Mungkin kau sejenis orang yang tidak percaya pada fenomena gaib. Aku bisa mengerti itu, tak ada yang bisa memaksamu untuk percaya. Tapi bagaimana jika kau ubah pertanyaanmu, tidakkah kau memiliki kecurigaan bahwa rumah itu benar-benar berhantu? Kau harus memikirkan juga betapa putus asanya Mr. Sean menjelaskan sesuatu yang ia lihat namun tak ada seorang pun mempercayainya."

Wang Yibo terdiam pada detik ini.

"Bagaimana jika kau melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain? Tidakkah itu cukup merepotkan dan mengganggumu? Kau bersikeras memaksakan logika pada situasi yang tidak seharusnya," pendeta Kriss berkata lagi.

"Atas alasan apa aku harus percaya, itu tidak rasional," sahut Yibo.
"Kupikir apa yang dialami Sean ada penjelasannya."

"Tentu saja, nak. Semua bisa dijelaskan. Demikian pula fenomena mistis yang dialami Mr. Sean. Aku tidak seratus persen yakin, tetapi sejarah yang kurang bagus dari rumah itu mungkin jadi awal mula serangkaian peristiwa yang mengganggu Mr. Sean."

Penuturan terakhir pendeta Kriss berhasil memancing rasa ingin tahu Yibo, dan ketulusannya ingin berempati pada Sean, membuat pikiran logisnya membuka celah untuk hal mistis itu masuk ke dalam rasionalitasnya.

"Sejarah apa?" Dia bertanya dengan wajah serius.
"Kau mengetahui sesuatu tentang rumah itu?"

"Hanya informasi umum nak, rumah itu sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Pemiliknya dulu bernama Arthur, dia pernah beberapa kali bertemu dan bicara denganku, bahkan aku pernah berkunjung ke rumahnya untuk mendengar dia bermain piano."

"Piano??? Arthur seorang pemain piano?"

"Bukan pemain professional, hanya selingan. Tetapi dia memang mencintai musik. Grand piano yang berada di sana, aku bisa memastikan itu milik Arthur. Sayangnya, sepuluh tahun lalu dia menghilang. Tak ada yang tahu kemana dia pergi, tak lama kemudian, partner wanitanya, Miss Cynthia terkena demensia akut dan pindah dari rumah itu."

Yibo tertegun beberapa lama, dia berusaha mengingat dengan keras, dimana dia sepuluh tahun lalu. Kenapa ia tidak tahu tentang peristiwa itu, meskipun ia berada di lingkungan yang sama. Ya, kalau tidak keliru, waktu itu dia berada di kota Innsbruck untuk bersekolah di sekolah menengah atas terbaik.

Tidak heran ia tidak tahu apapun. Dia hanya tahu bahwa rumah musim panas itu milik seorang wanita bernama Miss Cynthia, tidak lebih.

"Apa kau baru saja mengatakan padaku bahwa Arthur telah mati dan rohnya menghantui rumah itu?" Selidik Yibo.

Pendeta Kriss menghela nafas panjang, mendongak ke langit. Mungkin dia juga tidak tahu jawabnya.

"Mungkin itu Arthur atau bisa siapapun.  Mr. Sean hanya kebetulan cukup malang, tiba-tiba dia datang ke rumah musim panas itu dengan alasan kedamaian.."

Helaan nafas lagi.

"Seandainya kedamaian itu memang ada.."

Wang Yibo tidak mengalihkan tatapannya pada sang pendeta, menurut instingnya, dia yakin pendeta Kriss tidak berbohong. Masalah kini ada pada dirinya sendiri, apakah ia memilih percaya atau tidak.

Tetapi dia mempertimbangkan untuk menemui Miss Cynthia, jika benar-benar diperlukan. Dia ingin tahu apakah ada orang lain yang melihat hantu itu selain Sean.

Dengan berat hati, Yibo mengajukan pertanyaan yang terakhir.

"Jadi menurutmu, rumah itu memang berhantu?"

Pendeta Kriss mengangguk dengan enggan, wajahnya muram saat ia menjawab.
"Saat aku melakukan ritual di sana, aku bisa merasakan aura gelap yang menekan mengepung rumah itu. Aku yakin, ada sesuatu yang tidak wajar di sana. Sesuatu yang tertolak oleh logika. Tetapi nak, jika kau masih memiliki keyakinan pada Yang Di Atas, kau tidak akan mengabaikan ucapan seseorang sepertiku."

Di balik saku jasnya, jemari Yibo mulai berkeringat. Dia mengepalkan tangan, menahan lonjakan emosi yang bergejolak. Seluruh tubuhnya merinding tanpa bisa dikendalikan.

Tiba-tiba, dia sangat ingin menemui Sean, melindunginya, membawanya jauh dari segala gangguan dan ancaman.

"Aku ucapkan terima kasih atas penjelasanmu," Yibo tersenyum lemah yang disambut anggukan.

"Sama-sama, Nak. Jangan khawatir, sekarang dia akan baik-baik saja."


🥀🥀🥀


Sean.. Sean..

Kepala Yibo dipenuhi nama itu, penuh kecemasan dan rasa sakit yang aneh.

𝐋𝐚𝐯𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫'𝐬 𝐁𝐥𝐮𝐞 (𝐘𝐢𝐳𝐡𝐚𝐧) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang