Kematian Aeri benar-benar berdampak pada Jungkook, bahkan sudah hampir satu minggu sejak kejadian itu tapi Jungkook masih benar-benar diam dan tidak banyak bicara. Ia banyak melamun, terkadang tiba-tiba air matanya menetes dengan mudahnya melalui pipi mulusnya. Untuk makan pun, jika saja aku dan Jiwoo tidak memaksanya, mungkin ia tidak akan makan sampai mati, dua hari yang lalu bahkan aku sampai marah hebat karena ia yang terus menolak makan.
Aku mengerti, bahkan sangat mengerti dengan perasaannya saat ini, hanya saja ia tidak harus terus menerus menyiksa diri, masih banyak detik dalam hari yang harus ia lalui, hidup masih terus berlanjut.
Takdir tak dapat dihindari, maka jelas harus dihadapi.
"Jungkook-ssi... ayolah, sampai kapan kau akan begini, eo?"
Jelas ia masih tak bergeming, pandangan kosong lurus ke depan dengan pikiran yang entah seperti apa saat ini di dalam sana. Secinta itukah ia dengan Aeri?
"Eonnie, biar aku saja." Suara itu membuyarkan tatapan nanarku pada Jungkook yang bingung harus melakukan apa, "Eonnie ke depan saja, ada yang ingin bertemu," lanjutnya.
"Siapa?"
"Pergi saja ke depan, nanti Eonnie juga tahu."
Aku mengangguk, "baiklah, kalau begitu pastikan Jungkook menghabiskan buburnya, ya?"
"Iya Eonnie, kau tidak perlu khawatir jika ada aku disini, semuanya akan beres."
"Terima kasih."
Aku langsung beranjak dari kamar, meninggalkan Jiwoo yang akan membujuk Jungkook untuk makan, sama seperti yang biasa ia lakukan. Beberapa langkah membawa aku keluar, teras lebih tepatnya, namun tidak ada siapapun, siapa yang Jiwoo maksud ingin bertemu denganku?
Aku mengidikkan kedua bahuku acuh, mungkin sudah pulang karena terlalu lama menunggu, jadi aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam.
"Hyerin-a..."
Namun, suara yang tiba-tiba terdengar memanggil namaku itu membuat punggungku yang hampir berbalik langsung kembali memutar. Suara itu, seakan menyengat, melewati gendang telinga yang langsung berefek pada detak jantung dan apa yang dirasa oleh hati, aku merindukan suara itu.
Tepat di depan sana, sosok teduh dengan tatapan nanarnya tengah berdiri memandangiku, tatapan matanya seolah berkata sangat merindukanku.
Aku cukup terpaku, membeku, dan juga rindu.
Perlahan kakiku melangkah mendekatinya, menuruni tangga dan akhirnya berakhir dengan berdiri tepat di depannya. Kami saling menatap, dengan mata yang saling mulai berkaca-kaca, hanya dengan melihat wajahnya entah kenapa cukup membuatku emosional, aku selalu ingin menangis setiap menatap mata ini.
"Hyerin-a..." lagi, suara dengan nada sangat tenang itu menyengat diriku, seluruh akal sehatku.
"Kenapa kau kesini?"
Gleppp...
Bukan jawaban yang kudapatkan, namun sebuah dekapan yang membungkus penuh tubuhku, kembali menyengatkan getaran emosi pada diriku yang mampu meluruhkan segala pertahanan, aku hancur hanya dengan sentuhannya.
"Jimin-ssi, kita tidak boleh seperti ini," ia semakin mengeratkan dekapannya, menuntut hati ini untuk mengerti seberapa berat rasa rindu yang ia tahan. Usahaku untuk terlihat tegar tak berhasil, hanya semakin menghantar rasa meluruhkan tangis.
Aku bukan malaikat ataupun Tuhan yang bisa menahan segala rasa, aku bukan si sempurna yang tak ada celah. Aku hanyalah wanita yang rapuh untuk kesekian kalinya, jatuh memunguti potongan hati yang hancur lalu bangun lagi untuk menyusun hati yang baru dengan setiap potongan hancur itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You [Park Jimin]
FantasiaCerita ini bukan kisah tentang cinloknya seorang CEO perusahaan besar dan sekretarisnya, bukan pula tentang perjodohan bisnis anak-anak konglomerat. Melainkan sebuah kisah dimana seorang atlet volly wanita bernama Kim Hyerin yang tak sengaja terses...