Gelap.
Takut.
Hanya itu yang bisa aku lihat dan rasakan.
Perasaan itu sungguh tidak menyenangkan, aku risih dan tidak nyaman.
Aku tahu jelas bahwa perasaan yang aku rasakan saat ini adalah hampa, benar, aku merasa hampa. Entah apa yang sedang kualami, tidak ada yang bisa kuingat di dalam ingatanku. Entah kenapa air mataku menetes begitu saja dalam keadaan mata yang masih terpejam.
Sampai akhirnya, suara tangisan bayi membuyarkan semua perasaan itu, aku tergerak untuk membuka mataku yang awalnya seolah tak bisa dikendalikan untuk dibuka.
"Sayang!"
"Ya Tuhan syukurlah!"
"Aku sangat khawatir dari tadi."
"Terima kasih Hyerin-a, terima kasih karena telah berjuang untuk anak kita."
Untuk kesekian kalinya, lagi dan lagi. Aku kembali bingung dengan situasi yang tidak dapat kuingat tanpa harus dijelaskan.
Kepalaku terasa sangat sakit hingga membuat sebelah tanganku refleks memeganginya dan meringis.
Apa sih semua ini?!
Melihatku yang tampak kesakitan, Jimin langsung mengusap kening dan pipiku.
"Kau sudah berkorban banyak, sekarang kau harus banyak istirahat, aku berjanji akan membantumu mengurus segala kebutuhan anak kita." Kalimat itu ia ucapkan sambil berlinangan air mata.
Aku masih bingung, bisa tidak sih jelaskan agar aku bisa mengerti?!
"Oppa..." akhirnya aku bersuara.
"Iya? Kau butuh apa sayang?" Tanggapnya cepat.
"Aku dimana?" Pertanyaan ini bukan kubuat-buat, aku memang benar-benar tidak bisa mengingat apapun.
"Kau tidak ingat?" Ia tampak kaget, "kita sedang di rumah tabib, satu jam yang lalu kau melahirkan lalu tidak sadarkan diri."
Sungguh penjelasan yang mengejutkan.
Aku?
Melahirkan?
Seketika itu juga kepalaku kembali terasa berat seolah berputar-putar.
Barulah ingatan-ingatan itu muncul sedikit demi sedikit. Dimulai dari saat aku dan Jimin mengunjungi rumah kedua orang tuanya, lalu mengobrol bersama Jiwoo saat Jimin membantu kedua orang tuanya di sawah, ditengah-tengah mengobrol tiba-tiba aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku dan membuat Jiwoo panik kalang kabut, lalu Jungkook yang datang disaat yang sangat tepat.
Mereka berdua bersusah payah ditengah kepanikan ketika membawaku, setelah itu tidak ada lagi yang dapat kuingat setelah mengobrol dengan Jimin.
Didetik ini juga aku langsung tersentak, tangisanku langsung pecah bersama perasaan yang tak dapat kumengerti ini. Aku menangis, sejadi-jadinya.
Kedua tangan yang masih lemah menutupi pucatnya wajahku, bahkan saking tersedu-sedunya tangisanku, aku merasa sudah tak sanggup untuk bicara.
Ini sebuah kenyataan, bukan mimpi ataupun sebuah cerita fiksi di dalam sebuah novel.
Aku melirik sekali lagi ke arah perutku, dan ya, semua itu terasa semakin nyata saat aku melihat perutku sudah rata seperti semula.
Aku tahu Jimin yang sedang duduk di sampingku pun ikut meneteskan air mata, ia menyembunyikan wajahnya ke samping, tak kuasa menahan tangis yang sama-sama luruh karena keadaan dan kenyataan yang baru saja kami alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You [Park Jimin]
FantasíaCerita ini bukan kisah tentang cinloknya seorang CEO perusahaan besar dan sekretarisnya, bukan pula tentang perjodohan bisnis anak-anak konglomerat. Melainkan sebuah kisah dimana seorang atlet volly wanita bernama Kim Hyerin yang tak sengaja terses...