Sungguh pagi yang gila, namun jelas penuh bahagia.
Setelah selesai dengan aktivitas yang mampu membuat seluruh dunia terasa seakan hanya milik berdua lalu mandi untuk membersihkan diri, kini kami hanya kembali tidur-tiduran sambil melakukan percakapan ringan.
Aku merasakan geli diperut buncitku yang tidak henti-henti akibat perlakuan pria di sebelahku ini, ia mengusapnya dengan penuh lembut dan kasih sayang sambil tak henti menampakkan raut wajah yang tampak begitu bahagia. Getaran dari senyum itu menjalar pada diriku, seakan menyengat seluruh tubuh dengan kilat kebahagiaan.
"Hidup sangat berat, ya Oppa... " perkataan itu keluar begitu saja dengan datar, tatapan lesu hanya tertuju pada sosoknya.
Fokusnya yang hanya tertuju pada perut buncitku langsung teralih menatap wajah pucatku, lalu menampir secarik senyum seolah senyum itu menunjukkan betapa bangganya ia padaku, entahlah, hanya saja itu yang dapat kutangkap dari rautnya.
"Tapi kau berhasil melaluinya, kau wanita kuat." Dengan ringan tangannya beralih mengusap puncak kepalaku lalu merapikan anak-anak rambutku yang berantakan.
Lagi-lagi senyum itu seolah menembus pertahanan hati yang kubangun agar tak begitu mudah untuk hancur, entah kenapa hanya dengan kata dan senyum yang tersampir dari bibir itu langsung mampu meluruhkan segala istana dalam diriku yang sudah kubangun dengan kokoh.
"Tidak terasa ya Oppa, tiga bulan lagi kita akan menjadi orang tua."
"Akhirnya saat-saat seperti ini dapat kita rasakan, aku berharap kita selalu bersama hingga kapan pun."
"Oppa, kemari... "
Aku mengayunkan kedua tanganku, memintanya untuk ikut berbaring di sampingku. Tentu ia langsung mendekat, masuk ke dalam pelukanku, memberi rasa nyaman bagi diri masing-masing.
"Aku mencintaimu Hyerin."
Senyum bahagia itu langsung mengukir diri, aku harap kebahagiaan ini akan terus berlangsung lama dan tak ada lagi luka yang menggantikan posisi bahagia.
"Aku lebih mencintaimu, Oppa." Pelukan semakin erat, ia mendaratkan sebuah kecupan dipipi kiriku, membuatku kembali bersemu malu.
*****
Kakiku yang bergelantungan berayun tenang saat duduk diatas kursi di halaman belakang rumah, pemandangan di depan sana sungguh menyenangkan, namun lucu juga sebenarnya.
Jimin, suamiku itu...
Ah, aku jadi malu mengatakannya.
Suamiku itu tengah membawa sapi-sapi peliharaan keluarga mereka satu persatu untuk dimasukkan ke dalam kandang kembali, karena hari sudah mulai petang dan sebentar lagi akan segera berganti malam.
Dari kejauhan tampak jelas senyum yang ia tujukan padaku, nyaman dan tampan.
Setelah beberapa saat, dan Jimin pun sudah selesai memindahkan semua sapi peliharaannya ke dalam kandang, ia mencuci tangannya lalu menghampirku.
"Ayo masuk," ajaknya membuatku mengangguk. Ia menopang kedua bahuku membantuku untuk berdiri dari kursi.
Saat kami masuk, bersamaan dengan kedua orang tua Jimin yang baru saja pulang. Mereka masih mengenakan pakaian sawah mereka, lengkap dengan lumuran lumpur.
"Kalian sudah pulang?" Sapa Jimin, tanpa melepas rengkuhan tangannya di bahuku.
Ibunya mengangguk sambil mengambil segelas air putih, sedangkan Ayah Jimin tengah meletakkan cangkul di sebelah pintu lalu beralih untuk membersihkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meet You [Park Jimin]
FantasíaCerita ini bukan kisah tentang cinloknya seorang CEO perusahaan besar dan sekretarisnya, bukan pula tentang perjodohan bisnis anak-anak konglomerat. Melainkan sebuah kisah dimana seorang atlet volly wanita bernama Kim Hyerin yang tak sengaja terses...