Chapter 15 - Painful [괴로운]

324 101 18
                                    

Kerikil di jalanan menjadi pelampiasan perasaanku yang tak karuan, sepanjang jalan aku menendangi batu-batu kecil yang tak bersalah ini. Aku tidak pernah menyangka kalau perasaanku terhadap Jimin akan tumbuh sebesar ini, tersisa lima hari lagi menuju hari pernikahan Jimin dan Aeri, aku merasa semakin gugup dan tak sanggup, mungkin aku tidak akan hadir dipernikahan mereka nanti.

Banyak anak-anak berlarian di jalan dan tak sedikit juga yang bermain di lapangan, suara teriakan dan tawa mereka terdengar menggema ke berbagai sudut desa dikarenakan banyaknya pegunungan yang memantulkan suara mereka.

Sungai yang berubah menjadi sungai berdarah saat itupun sudah kembali normal, tak ada yang tahu bagaimana sungai itu bisa berubah kembali, yang jelas para warga pun sudah menjalani aktivitas normal mereka termasuk menggunakan air dari sungai tersebut.

Sudah dari jam tiga sore tadi aku berjalan-jalan mengitari desa ini, aku sudah cukup mengenal desa ini dengan baik. Awalnya Jiwoo ingin menemaniku, tapi aku bilang aku sedang ingin sendiri, jadinya ia menurut saja.

"Hyerin Agashi, Annyeong!"

"Eo, Annyeong!"

Aku membalas sapaan anak laki-laki yang menyapaku sambil melambaikan tanganku. Senyumku mengembang sempurna, bahagia sekali melihat mereka tertawa dan bermain bebas seperti ini.

"Hyerin-ssi..." langkahku langsung terhenti saat suara seorang wanita menyapaku dari belakang, suaranya terdengar asing dan sepertinya aku baru kali ini mendengarnya.

Pelan-pelan aku berbalik ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilku barusan. Dan asal kalian tahu betapa kagetnya aku melihat sosok yang ada di depanku saat ini.

Aeri, ada apa ia menghampiriku?

"Bisa kita bicara?" Ucapnya lagi, bahkan aku belum sempat berbicara sepatah katapun.

Jujur saja aku panas dingin saat ini, bagaimana tidak? Wanita yang ada di depanku saat ini adalah calon istri dari pria yang aku sukai, bahkan mungkin aku cintai.

Aku tak tahu harus bersikap seperti apa, rasanya canggung sekali saat ini.

"Bicara tentang apa?" Tanyaku pelan, wajahnya terlihat datar dan tak suka, aku semakin berdebar jujur saja.

"Tidak disini." Itu kata terakhirnya sebelum berbalik arah lalu berjalan meninggalkanku, tapi aku tahu maksudnya adalah untuk mengikutinya.

Tak ada pilihan selain mengikutinya.

*****

Jari jemariku saling meremas, sulit mencairkan suasana yang canggung ini. Aeri dan aku sedang duduk di tepi sawah, mungkin sudah hampir satu menit, tapi ia belum juga memulai pembicaraan.

Aku pikir sepertinya aku yang harus memulainya.

"Sedekat apa kau dengan Jimin?"

Telat, sebelum aku berbicara ia sudah lebih dulu membuka suara tanpa menolehku, tatapannya lurus ke depan dan nada bicaranya yang terdengar begitu dingin, ia terlihat sangat tenang.

Sumpah demi apapun, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya terdiam menatapnya dengan perasaanku yang tak karuan.

"Ka-kami hanya berteman, kau jangan khawatir, Jimin hanya membantuku." Ya, setidaknya itulah yang bisa aku katakan.

Pandangannya yang lurus ke depan perlahan-lahan beralih ke aku dengan tatapan dinginnya, "berteman..." ia mengulangi, lalu tak lama terkekeh pelan membuat aku bingung, sungguh.

"Mungkin tak seharusnya aku mengatakan ini, tapi aku sungguh tak tahan lagi. Awalnya mungkin aku masih bisa mengerti karena kau tersesat di desa kami dan membutuhkan tempat tinggal, aku tidak mempermasalahkan kau tinggal di rumah Jimin. Tapi semakin lama kalian semakin akrab, kalian sering menghabiskan waktu berdua, bahkan Jimin tak sungkan menggenggam tanganmu. Dan apa kau tahu seperti apa perasaanku?"

Aku dapat merasakan emosi dari setiap kata yang ia ucapkan, kedua bola mata itu bahkan berkaca-kaca membuatku tak tahan untuk tak ikut sedih.

Apa seegois ini aku?

Apa seserakah ini aku?

"Aeri-ssi..." lirihku pelan, bahkan nyaris terdengar hampir menangis. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu." Sambungku.

"Aku tidak pernah keluar rumah hanya agar aku tak bertemu denganmu, aku selalu mendengar pembicaraan warga-warga tentang kedekatan kalian, bahkan kedua orang tuaku pun tahu tanpa harus mendengar dari pihak manapun. Aku takut jika aku keluar lalu bertemu denganmu mungkin aku akan merasakan sakit, jadi kupikir aku harus menahannya sampai hari pernikahan kami, tapi ternyata aku tidak bisa, aku terlalu tidak sabar ingin berbicara denganmu."

Sungguh, demi apapun setiap katanya benar-benar sampai ke hatiku dan menusuknya hingga tembus. Aku akui kalau aku memang egois, tapi sebelumnya aku tidak tahu kalau Jimin sudah punya pacar dan akan menikah, jika seandainya aku tahu mungkin aku tidak akan terlalu dekat dengan Jimin, mendengar perkataannya membuatku terdengar begitu menyedihkan dan buruk, serendah itukah aku ia pikir?

"Maafkan aku Aeri-ssi, aku tidak tahu kalau Jimin punya pacar dan akan menikah. Jika saja aku tahu aku pasti aku tidak akan terlalu dekat dengannya, maafkan aku Aeri-ssi."

Aeri mengalihkan pandangannya ke langit sambil tersenyum kecil, setetes butiran bening lolos dari pelipisnya membuatku merasa semakin bersalah padanya.

"Apa kau tahu sepenting apa Jimin dihidupku?" Ucapnya sambil lagi-lagi tersenyum kecil dengan tatapan fokus ke langit.

Sedangkan aku hanya bisa menahan perih dihatiku sambil menatapnya tanpa mengatakan apa-apa.

"Aku bahkan bisa mati tanpanya. Dan melihatmu lebih dekat dengan keluarganya benar-benar menyakitiku, aku cemburu sungguh." Sambungnya membuat hatiku terasa semakin remuk, aku sudah patah bersama harapan yang telah remuk.

"Kau tidak perlu lagi khawatir Aeri-ssi, aku juga akan pindah dari rumah Jimin. Dan kalian juga sebentar lagi akan menikah, Jimin akan menjadi milikmu seutuhnya, jadi kau tidak perlu takut jika aku akan menjadi pengacau dalam hubungan kalian."

"Baguslah kalau kau tahu tempatmu, setidaknya aku bisa mempersiapkan pernikahanku dengan tenang." Ia bangkit dari duduknya, melirikku yang terduduk diam sekilas lalu pergi meninggalkan aku sendiri.

Hatiku benar-benar remuk seperti diparut hingga hancur dan mungkin sudah tak berupa, aku benar-benar terhina.

Aku ingin marah, aku ingin berteriak, dan mengatakan kalau aku juga tidak tahu jadinya akan seperti ini jika saja aku tahu kalau Jimin sudah punya pacar mungkin tidak akan seribet sekarang.

Mau setegar apa aku mencoba bertahan dan menahan diri untuk tidak menangis tetap tidak bisa, kedua pelipisku berhasil meloloskan butiran-butiran bening yang dengan lancarnya meluncur melalui pipiku ini. Hatiku benar-benar sakit, setiap kalimat yang ia ucapkan benar-benar melekat dikepala dan hatiku.

Aku memeluk kedua lututku dan menenggelamkan kepalaku ke dalam celahnya, setidaknya menangislah yang bisa aku lakukan saat ini untuk menenangkan diri. Untunglah tidak banyak orang dewasa yang lewat, dan anak-anak banyak yang bermain di lapangan sehingga aku bisa menangis dengan tenang tanpa malu walau sejenak.

Mungkin mulai sekarang hari-hariku akan kembali menakutkan seperti pertama kali aku ke desa ini, perasaan hampa dan merasa tak berguna akan kembali menghampiriku, bahkan mungkin aku akan sering merasa ingin menyerah.

Ibu, aku ingin pulang.

-To be continue-
.
.
.

Terima kasih karena sudah berkenan membaca cerita ini, maaf kalau banyak typo dan jangan lupa vote dan komen ya kalau kalian suka.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

.

Wednesday, 10 March 2021.
02:34 AM

Meet You [Park Jimin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang