Chapter 10 - Backrest [등받이]

312 97 9
                                    

Aku tidak tahu jelas apa yang aku rasakan saat ini, aku merasa sangat kehilangan, sangat. Aku tidak pernah kenal dengan Miran, dan kami baru mengenal selama dua hari, tapi kenapa rasanya semenyakitkan ini?

Ini semua memang salahku, jika saja aku lebih bisa menjaganya dan tidak meninggalkan ia sendiri mungkin kemalangan ini tidak akan terjadi.

Balutan baju berwarna hitam membungkus tubuhku dengan pita kecil menjepit rambutku yang diikat ke belakang. Pandanganku fokus ke satu arah dengan pikiran yang kacau, aku melamun.

Aku memejamkan kedua mataku menahan sesak yang amat menusuk dadaku, tapi cairan bening dari pelipis ini tidak dapat ditahan, dengan lancarnya ia menetes bersamaan dengan menutupnya kelopak mataku.

Aku merasakan kedua pundakku digenggam oleh tangan hangat dari orang yang selalu menguatkanku, andai saja tidak ada dia mungkin aku tak akan setegar ini.

Sebelah tangan kekarnya membaringkan kepalaku ke pundaknya, ia tahu, bahkan sangat tahu jika aku sangat membutuhkan sandaran.

"Mau aku buatkan teh hangat?" Ucapnya ditengah mengalirnya setetes air mata lagi.

Aku menggeleng kecil, lalu mengusap pelan pipiku, "tidak, terima kasih Jimin-ssi," jawabku.

"Kalau begitu kau tidur saja ya? Wajahmu pucat, sudah hampir tiga jam setelah Miran dikuburkan tadi, nanti kau bisa sakit."

Aku mengangguk, mengangkat kepalaku pelan dari pundaknya.

"Biar aku antar."

Aku berdiri perlahan agar kaki yang menopang tubuhku tak terkejut, aku merasa sangat lemas dan tak bersemangat untuk melakukan apapun, bahkan untuk makan sekalipun walaupun aku merasa sedikit lapar.

Jimin mengantarkanku ke kamarnya sambil merangkul pundakku.

Pelan-pelan ia membantuku untuk duduk kembali di atas kasur.

"Kau istirahat ya, kalau lapar panggil saja aku." Ucapnya dan berniat pergi meninggalkan aku sendiri.

Tapi, baru satu langkah ia beranjak aku langsung menarik lengannya membuatnya terpaksa menghentikan langkahnya. Ia tak berkata apa-apa, hanya kedua alis yang naik ke atas sambil menantikan ucapanku.

"Tidak bisakah kau tetap disini?" Aku tidak tahu apa yang aku katakan, karena mulutku hanya berucap sesuai apa yang hatiku perintahkan.

Ia mengulum tipis bibirnya, dan di detik berikutnya ia langsung mendekat lalu ia membantuku untuk duduk bersandar di dinding, tak lama ia duduk di sebelahku.

"Tidurlah, aku tidak akan kemana-mana, aku akan menemanimu." Ucapnya dengan sebelah lengan kekarnya kembali menyandarkan kepalaku dipundaknya.

"Terima kasih banyak Jimin-ssi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak bertemu denganmu malam itu." Ucapku begitu pelan bahkan nyaris tak terdengar, dan bahkan sedikit gemetar.

Dua detik setelah ucapanku jatuh ke tanah tiba-tiba kedua tanganku terasa digenggam dengan begitu hangat, menenangkan.

"Tidurlah, kau sudah terlalu banyak menangis." Bukannya menjawab ucapanku, ia lebih memilih untuk memintaku istirahat.

Aku mengangguk samar, mencari posisi yang nyaman di pundaknya.

Tak ada lagi percakapan, hanya tersisa deru napas dari kedua insan. Aku mulai memejamkan mata dan tak sadar telah sampai di dunia mimpi.

*****

"Oppa, sepertinya kau jangan pergi dulu, kasihan Hyerin Eonnie sendirian, kau yang paling dekat dengannya." Aku terbangun mendengar suara lembut itu.

"Tapi Oppa juga sudah janji dengan Yebin untuk mengantarkannya ke pasar. Kau jaga Hyerin sebentar ya? Oppa janji tidak akan lama." Sahut seseorang lagi.

Aku mencoba berdiri perlahan untuk menghampiri mereka, "aku baik-baik saja Jimin-ssi, kau pergilah, janji tidak boleh diingkari," ucapku membuat mereka berdua langsung menoleh serempak.

"Eonnie, kau sudah merasa lebih baik?" Tanya Jiwoo sambil menghampiriku, aku mengangguk kecil.

"Aku janji tidak akan lama, kalian mau menitip apa biar aku belikan nanti."

"Tidak perlu Jimin-ssi, kau pergilah."

"Iya Oppa, hati-hati ya."

"Baiklah, Jiwoo-ya, ajak Hyerin makan ya?"

"Jangan khawatir."

"Aku pergi."

Aku dan Jiwoo memilih untuk pergi ke dapur setelah Jimin keluar dan siap untuk pergi, aku merasa sangat lapar.

"Eommonie dan Abboejie kemana?"

"Mereka sedang melakukan pertemuan bersama seluruh warga desa untuk membicarakan masalah kemarin."

"Jadi kau yang memasak semua ini?"

"Iya, mereka pergi saat kau tertidur tadi."

"Ya ampun Jiwoo, kenapa tidak membangunkan Eonnie?"

"Aish, bagaimana bisa, kau sedang tidak baik-baik saja."

"Terima kasih Jiwoo-ya, kalian sangat baik padaku."

"Jangan bicara seperti itu Eonnie, aku sudah menganggapmu seperti Eonnie kandungku."

Mataku kembali berkaca-kaca dibuatnya, ia tiba-tiba langsung merengkuh tubuhku dengan lembut, mengusap belakang pundakku dengan penuh kasih, aku dapat merasakan ketulusannya.

"Bertahanlah Eonnie, walau ini tidak mudah bagimu tapi aku harap kau selalu bersandar pada kami, walau kita tinggal di tempat seperti ini aku harap kita bisa sama-sama bahagia."

Runtuh sudah cairan yang sebenarnya dengan susah payah aku tahan agar tak menyucur.

"Ayo makan Eonnie, kau tidak boleh sakit." Ucapnya sambil melepaskan pelukan, aku mengangguk dan kami akhirnya makan bersama.

Sekarang aku mengerti apa arti dari kata 'saling menguatkan' karena dua raga yang runtuh pun dapat kembali bangkit jika saling menguatkan.

-To be continue-
.
.
.

Terima kasih karena sudah berkenan membaca cerita ini, maaf kalau banyak typo dan jangan lupa vote dan komen ya kalau kalian suka.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

.

Saturday, 25 February 2021.
02:10 AM

Meet You [Park Jimin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang