Prolog

40.2K 2.5K 132
                                    

Aku tidak tahu harus berterima kasih dengan Mbak Kania, atau justru menyumpahinya.

Sore ini kuliahku mendadak dibatalkan karena dosenku ada urusan penting. Sebagai gantinya, kami diminta mengerjakan kuis singkat yang harus dikumpulkan hari itu juga. Ketika mengumpulkan kuis di ruang dosen, tanpa sengaja aku malah bertemu dengan Mbak Kania. Aku menyapanya sekadar untuk basa-basi. Namun, Mbak Kania malah mengajakku ikut nongkrong di kafe. Katanya, sore ini ada event di kafe tersebut, dan bakal ada live music juga.

Tentu saja ada banyak keraguan yang berputar di otakku, tapi bujukan Mbak Kania yang terdengar begitu menyenangkan berhasil menghapus seluruh keraguan itu. Lagi pula, aku sudah terlanjur sampai kampus, sayang banget kalau langsung pulang begitu saja, padahal sudah dandan rapi.

Sepanjang perjalanan, aku baru sadar kalau Mbak Kania tidak menyebutkan siapa saja yang akan ikut nongkrong. Tahu-tahu begitu sampai di tempatnya, aku langsung mati kutu karena meja ini ramai sekali. Bahkan dari sepuluh orang yang melingkari meja ini, hanya empat orang yang kukenal baik.

Rasanya aku seperti sedang dijebak, meski aku tahu sebetulnya Mbak Kania nggak berniat begitu. Terpaksa aku ikut duduk di salah satu kursi, karena nggak mungkin langsung pulang begitu saja tanpa menyebutkan alasan yang jelas.

Beruntung, teman-teman Mbak Kania menyambutku dengan baik, meski sebelumnya kami nggak saling kenal. Aku pun berusaha mengimbangi obrolan, dan mulai terlarut dengan guyonan mereka.

"Suara vokalisnya nggak sebagus itu ya? Kok dia bisa jadi vokalis band itu sih?" komentar Mbak Kania pada band kafe yang tengah bermain di tengah panggung mini.

"Kalau cuma buat nyanyi di kafe begini mah, nggak perlu suara yang bagus banget gitu. Yang penting mah percaya diri," celetuk Mbak Amanda sambil ikut memandang ke arah panggung.

"Ya soalnya orang yang punya suara cakep, nggak mau jadi vokalis band abal-abal gitu. Mereka pasti lebih pilih ikut audisi Indonesian Idol," seloroh Mas Ben yang berhasil mengundang tawa seisi meja.

"Bener juga lo!" timpal Mbak Kania sambil manggut-manggut.

"Karen ngakaknya kenceng banget ya! Kayaknya lo yang paling bahagia semeja ini deh! Traktir dong!" cibir Dicky tiba-tiba.

Tawaku seketika menghilang, berganti dengan pelototan tajam ke arah cowok menyebalkan itu. Dia adalah temen sekelasku yang memang mudah akrab dengan semua orang. Sudah bukan hal asing lagi kalau melihat Dicky ikut nongkrong dengan kakak tingkat atau anak fakuktas lain.

Meski kami sekelas, aku nggak seakrab itu dengan Dicky. Kami nggak pernah memiliki topik apa pun untuk dibahas, makanya aku heran kenapa tiba-tiba saja Dicky menyebut namaku dengan gaya sok akrab begitu.

"Apaan sih? Nggak nyambung deh lo!" balasku sengit.

Sayangnya, tawa sengit Dicky justru menarik perhatian teman-temannya. Kini Mbak Amanda dan Mas Brian menatapnya dengan penuh tanya. "Kenapa sih, Dik? Karen lagi ulang tahun ya?"

"Enggak ulang tahun sih, tapi kan nggak ada salahnya traktir kita. Hitung-hitung syukuran karena bisa nongkrong bareng Mas Crush-nya!"

Otomatis seluruh tatapan penghuni meja ini tertuju ke arahku dan Dicky bergantian. Kemudian Mas Brian menatap satu per satu cowok yang duduk di meja ini dengan penuh penilaian, mencari siapa cowok yang kira-kira dimaksud Dicky.

"Emang crush-nya Karen siapa, Dik?" Mbak Amanda juga antusias, dan ikut mengedarkan pandangan.

"Wah, nggak asyik banget lo, Ren, main rahasia-rahasiaan! Kenapa lo nggak pernah cerita ke gue sih?" Mbak Kania menatapku kesal, kemudian berpaling pada Dicky seperti sedang membujuk cowok itu agar membongkar rahasia tersebut.

"Siapa sih, Dik? Lo kalau spill setengah-setengah gini, ban motor lo gue kempesin nih!" seru Mas Brian nggak sabaran.

"Loh, emang pada belum tau? Karen kan udah lama naksir Ben," ujar Dicky santai.

Demi Tuhan, rasanya aku ingin membalikkan meja ini ke arah Dicky sekarang juga. Bisa-bisanya dia mengatakannya dengan muka lempeng, seolah itu bukan masalah besar?!

Itu memang bukan masalah besar baginya. Namun, setidaknya apa dia nggak memiliki simpati sedikit pun dengan apa yang saat ini kurasakan?

Sebetulnya, hal itu memang sudah menjadi rahasia umum bagi teman sekelasku. Sudah satu semester lebih aku menaruh perhatian pada Mas Ben, dan hampir semua teman di kelasku mengetahuinya. Selama ini, nggak ada yang masalah dengan itu. Bahkan teman-teman sekelasku sering bergantian memberitahuku apa saja tentang Mas Ben yang mereka ketahui, seolah mereka memang mendukung perkembangan hubunganku dengan Mas Ben.

Lalu tiba-tiba saja, sore ini Dicky membocorkan itu langsung di depan Mas Ben dan teman-temannya. Sumpah deh, melihat mukanya sekarang, benar-benar membuatku ingin mencekiknya.

Seisi meja langsung riuh saling meledek. Mbak Kania dan Mbak Amanda menatapku dengan penuh tanya, menuntut penjelasan, sementara Mas Brian semakin gencar menggoda Mas Ben. Gara-gara aku nggak juga mengatakan apa pun—lebih tepatnya aku nggak tau harus bilang apa, akhirnya perhatian Mbak Kania dan Mbak Amanda berpindah pada Mas Ben. Sementara si pemeran utama yang menjadi bahan ledekan alias Mas Ben, tetap mempertahankan raut datarnya, terlihat tidak terganggu dengan ledekan teman-temannya sedikit pun.

Demi mempertahankan harga diriku di hadapan Mas Ben, aku pun mengumpulkan kekuatan untuk membantahnya. Pikiranku terlalu penuh, sehingga aku nggak bisa berpikir dengan jernih. Satu-satunya yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menyebutkan alasan paling masuk akal untuk membantah semuanya. "Apaan sih, Dik? Kok gue? Salah orang kali! Yang naksir Mas Ben itu Daryn. Bukan gue!"

"Hah? Daryn siapa deh?" tanya Mas Brian dengan kening mengerut.

"Daryn temen sekelas lo itu kan, Ren?" gantian Mbak Amanda yang bertanya.

"Iya. Mungkin gara-gara nama gue sama Daryn agak mirip kan, jadi lo salah denger, Dik!" seruku pada Dicky yang kini menampakkan ekspresi penuh arti.

Dalam waktu singkat, obrolan berpindah membahas Daryn yang nggak kusimak sama sekali. Kini otakku terasa penuh. Mulai dari bingung harus mengatakan apa pada Daryn setelah ini, karena sudah membawa namanya, padahal dia nggak ada hubungannya sama sekali. Juga memikirkan bagaimana caranya balas dendam pada Dicky. Kenapa dia tampak sangat ingin mempermalukkanku, padahal sebelumnya kami nggak pernah ada urusan apa pun?


***

Selamat datang di lapaknya Dicky dan Karen wkwk. Sebenernya aku pengen rehat sebentar dengan nggak nulis cerita apa pun sebulan atau dua bulan gitu. Tapi ternyata nggak bisa deh. Rasanya jadi gabut banget, dan hari-hariku terasa useless. Di antara semua outline yang udah kubikin, ini yang paling mateng, jadi akhirnya dikerjain sekarang aja deh!

Oh iya, karena cerita ini masih satu universe sama Daryn dan Tyra, jadi gak bakal pakai visual ya. bayangin aja, Dicky tuh cowok yg mukanya b aja di sekitar kalian, tapi tajir dan lagaknya sok gaul abis. Yah, masih temennya Pak RT ini, jadi gak perlu bayangin dia seperti Na Jaemin atau Lee Jeno wkwkwk

Semoga cerita ini bisa sedikit menghibur kalian dan mengisi kekosongan waktu kalian ya! Jangan lupa masukin ke library dan kasih vote! Oh iya, aku nggak bisa janjiin sering-sering update, tapi bakal usahain update minimal seminggu sekali. Kalau ceritanya ramai dan feedback-nya oke, mungkin bisa seminggu tiga kali. Follow juga Instagram @liaraudrina.

Thank you!

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang