Hari Kamis menjadi hari yang paling melelahkan bagiku, karena seharian cuma dipenuhi oleh jadwal praktikum. Nggak ada matakuliah lain, sehingga aku bakal seharian berada di laboratorium.
Beberapa bulan lalu, mungkin ini bakal jadi hari yang sangat menyenangkan bagiku karena aku bisa lebih sering melihat Mas Ben. Berhubung Mas Ben adalah asisten dari beberapa praktikum dan ikut PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), dia jadi lebih banyak menghabiskan waktunya di lab.
Melihatnya mondar-mandir dari ruangan satu ke ruangan lain dengan jas lab putih merupakan salah satu bagian yang paling kusuka jika berlama-lama di lab.
Namun, sekarang semuanya sudah tidak sama lagi. Perlahan aku mulai bisa move on dari Mas Ben, sehingga pemandangan di hadapanku saat ini nggak lagi terlihat menarik. Padahal dulu aku nggak bisa berhenti memandangi Mas Ben yang lewat, sampai nggak bisa konsentrasi belajar sebelum pre-test saat praktikum beberapa menit lagi.
Sebenarnya sekarang aku juga nggak bisa fokus belajar. Bedanya alasanku kali ini bukan lagi karena Mas Ben, tapi karena Dicky yang sejak tadi belum terlihat batang hidungnya. Padahal praktikumnya akan dimulai sebentar lagi.
Berhubung asisten praktikum kali ini lumayan galak, kami hanya diberi toleransi keterlambatan lima belas menit. Kalau lebih dari itu, nggak bisa mengikuti praktikum dan harus inhal.
Inhal itu praktikum susulan, yang biasanya dilimpahkan pada mahasiswa yang nggak mengikuti praktikum tanpa surat izin yang jelas. Bagian yang paling menyebalkan dari inhal adalah, peserta inhal harus membayar biaya inhal yang menurutku cukup mahal. Belum lagi, biasanya asisten yang membimbing praktikum inhal itu agak menyebalkan dan suka mengajar seenaknya sendiri karena mahasiswa yang diajar cuma sedikit.
Pokoknya, inhal adalah sesuatu yang harus dihindari sebisa mungkin.
Aku melirik ke arah Tyra dan Vika untuk yang kesekian kalinya. Penasaran apakah mereka sadar kalau Dicky belum datang, atau tidak. Apa jangan-jangan Dicky memang izin nggak mengikuti praktikum hari ini, dan mereka berdua sudah tahu soal itu? Sehingga keduanya cemas kenapa Dicky belum datang juga.
Meski Dicky terkenal berandalan dan suka main-main, selama ini dia jarang banget datang ke kampus terlambat. Dia malah lebih sering datang lebih awal.
Menurut Tyra, alasannya supaya punya waktu lebih banyak untuk tebar pesona ke cewek di fakultas lain. Makanya aku cukup heran kenapa kali ini, dia agak terlambat.
"Ren? Lo ngapain sih?" pertanyaan Nana menyela percakapan tak bersuara atara aku dan hati kecilku.
"Hah? Emang kenapa?"
"Lo kayak bingung gitu?"
Aku memang sedang bingung banget. Lebih tepatnya bingung dengan diriku sendiri. Kenapa aku mengkhawatirkan Dicky sampai sebegininya?
Dia kan cuma terlambat praktikum. Bisa saja ada halangan atau urusan lain yang itu bukanlah urusanku.
Lagi pula, dia sudah dewasa dan bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Masa baru digombalin begitu saja sama Dicky, aku langsung jadi begini sih?!
"Hah? Enggak. Gue bingung aja, pre-test-nya tuh yang bab mana sih?"
Sebelum Nana menjawab pertanyaanku, sapaan yang memanggil namaku terdengar. Refleks aku menoleh. Bodohnya, aku berharap kalau yang menyapaku barusan adalah Dicky, padahal jelas-jelas itu suara perempuan.
Ya ampun, sepertinya aku benar-benar jomlo desperate. Masa baru sekali dikasih gombalan norak begitu, aku langsung jadi kepikiran Dicky terus?
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...