31. Jangan Berubah

8.5K 1.4K 122
                                    

Hari Senin, teman-temanku yang kemarin mendaki Gunung Merbabu tidak berangkat. Sebetulnya aku sudah bisa menebaknya. Malah terasa aneh kalau mereka tetap datang kelas pagi ini. Apalagi kalau ingat ucapan Tyra yang selalu butuh bedrest seminggu penuh setelah mendaki gunung untuk memulihkan energinya.

Padahal yang kemarin mendaki gunung hanya delapan orang. Namun, entah kenapa kelas jadi terasa sangat sepi. Mungkin karena kedelapan orang tersebut adalah si cerewet yang setiap hari mengisi kegaduhan di kelas.

Karena kelas jadi lebih sepi, Dicky semakin berani mendekatiku. Bahkan dia duduk tepat di sebelah kiriku, sementara Nana di sebelah kananku. Sebenarnya aku senang-senang saja, Dicky yang biasa duduk di barisan bangku paling belakang, jadi pindah ke tengah untuk berada di dekatku. Tidak kupungkiri bahwa semakin lama, aku juga ingin terus berdekatan dengannya.

Namun, aku jadi kurang nyaman dengan tatapan tidak suka Nana. Bahkan saat Dicky sedang ke toilet, dia langsung menyerbuku. "Beneran jadian sama Dicky?"

Aku mengangguk.

"Kan waktu itu gue udah bilang, dia nggak sebaik kelihatannya!"

"Tapi bukannya dia emang nggak kelihatan kayak cowok baik-baik ya?" balasku santai.

Nana menjentikkan jarinya. "Nah, dia kelihatannya aja nggak baik. Jadi aslinya makin nggak baik."

"Lo boleh aja, bilang Dicky itu brengsek atau semacamnya, karena dia pernah nyakitin temen lo. Makasih juga udah ngingetin gue. Tapi lo ngerti kan, lo nggak bisa maksa gue buat menjauhi dia kayak yang lo mau," ucapku pelan.

Nana menatapku semakin sengit. "Dan lo berharap dia bakal berubah, terus bisa sayang sama lo tulus gitu?"

Aku menggeleng. "Dari awal gue nyadar kalau yang gue pacarin bukan cowok baik-baik. Dan gue nggak semunafik itu buat berharap dia berubah jadi sedemikian rupa. Justru gue malah mau sama dia karena dia bukan cowok baik."

Kalimatku membuat Nana terlihat makin kesal. Namun, dia tidak membantah lagi karena oknum yang dibicarakan sudah kembali. Aku pun segera memusatkan perhatian padanya, sambil berusaha keras mengusir berbagai omongan Nana tadi.

Tidak bisa kupungkiri, meski aku bisa membalas omongan Nana dengan santai, diam-diam kalimatnya terbayang di otakku. Berbagai pemikiran buruk langsung berputar. Bagaimana kalau fase bahagia yang kurasakan saat ini tidak bertahan lama?

Apa yang harus kulakukan kalau pada akhirnya, nasibku sama seperti teman Nana, yang dicampakkan begitu saja ketika Dicky sudah bosan?

"Album-album kamu udah dateng dari kapan, tuh! Nggak dibuka-buka, keburu Chanyeol brewokan!" ucap Dicky pelan.

"Nanti kamu yang izin ke Pak Jono ya?" balasku.

Dicky langsung manggut-manggut. "Tenang aja, bentar lagi juga pasti Pak Jono bakal jadi sohibku!"

"Dik," panggilku pelan.

Dia menoleh bingung, karena aku tidak segera melanjutkan kalimatku.

"Kalo kamu mulai bosen sama aku, bilang ya! Jangan tahu-tahu ngilang gitu aja!"

Keningnya mengerut semakin dalam. Dia tampak berusaha mencerna kalimatku.

Kemudian mengangguk. "Jujur aja, seharusnya aku yang bilang gitu."

Sebelah alisku terangkat. Menuntut penjelasan dari ucapannya.

"Belakangan ini, aku jadi takut kehilangan kamu. Apalagi sebelum ini, aku mungkin pernah nyakitin orang lain. Aku takut kena karmanya sekarang, terus kamu pergi," terangnya pelan, dengan raut memelas.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang