47. Cutie Little Boy

7.5K 1.1K 47
                                    

Semalaman aku tidak bisa tidur. Padahal sekujur tubuhku pegal-pegal sepulang dari mendaki gunung. Rasanya tubuhku ingin istirahat, tapi otakku menolak berhenti bekerja.

Tengah malam, tangisku pecah. Berbagai kemungkinan buruk memenuhi otakku. Juga kenangan-kenanganku bersama Dicky hampir setahun terakhir. Semuanya bergantian menyerangku, membuat dadaku semakin sesak.

Aku mengambil ponsel masih dengan derai air mata, lalu membuka mesin pencari. Dengan jantung berdebar-debar, aku mengetik, "Syarat mengadopsi anak dari panti asuhan."

Deretan artikel muncul. Aku memilih artikel paling atas, dan membaca satu per satu syaratnya dengan seksama.

"Minimal berusia 30 tahun, dan maksimal 55 tahun. Sudah menikah dengan minimal usia pernikahan 5 tahun." Baru membaca sampai situ saja, jantungku terasa seperti menciut, tidak mampu memompa darah dengan baik.

Aku langsung meletakkan ponsel, mengambil air minum di nakas sebelah tempat tidurku, berharap ini bisa meredakan sesak yang kurasakan.

Ingatanku kembali pada kejadian beberapa bulan lalu. Saat Dicky datang ke rumahku di akhir pekan. Seharian kami menghabiskan waktu di rumah hanya dengan menonton serial Netflix, memasak dan mengobrol santai. Tentu saja Dicky yang memasak, sedangkan aku kebagian tugas mencuci piring.

Di sela tontonan kami, entah dimulai dari mana, kami malah jadi mengobrol panjang tentang masa depan. Waktu itu aku bertanya, "Gimana kamu lihat dirimu dalam lima tahun ke depan?"

Dicky tampak berpikir sebentar. Lalu dengan santai meraih tanganku sambil tersenyum lebar. "Nikah sama kamu. Terus ... "

Aku menunggu Dicky melanjutkan kalimatnya, tapi kemudian dia menggeleng kecil. "Terus, ya bahagia sama kamu!"

Saat itu aku bisa menebak kalau sepertinya dia ingin menyinggung soal memiliki anak. Namun, tampaknya dia tidak ingin merusak suasana, mengingat obrolan terakhir kami soal anak yang berujung pertengkaran.

Dan sekarang aku baru mengerti maksudnya. Dia harus segera menikah, untuk memenuhi syarat tersebut. Dengan begitu, otomatis aku akan menjadi ibu sambung dari anaknya.

Padahal sampai sekarang, pemikiranku soal tidak ingin memiliki anak belum berubah sedikit pun. Ditambah kenyataan yang baru kuketahui, bahwa aku bukan anak kandung Ibu—melainkan cucunya, keputusanku untuk tidak akan pernah memiliki anak jadi semakin bulat. Aku khawatir tidak bisa mengurus anakku dengan baik, sampai terpaksa menyerahkan tanggung jawab ke orang lain, seperti yang dilakukan Mbak Agnes.

Kadang aku bisa memaklumi alasan Mbak Agnes dan Ibu melakukan ini padaku. Saat itu usia Mbak Agnes masih sangat kecil untuk menjadi Ibu. Namun, kenapa dia tidak berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu? Apa saat itu dia tidak tahu kalau ada yang namanya kondom di dunia ini?

Dan sekarang, kenyataan buruk lain menamparku. Pacarku yang kucintai dengan sepenuh hatiku, ternyata diam-diam sudah memiliki anak. Yang lebih menyakitkan lagi, anak itu kini berada di panti asuhan!

Berbagai pertanyaan memenuhi otakku. Pikiranku semakin kacau.

Demi Tuhan, aku tidak pernah mengira Dicky sedang menyembunyikan fakta sekeji ini dariku. Air mataku mengalir kian deras.

Saking lamanya aku menangis, di pagi harinya mataku bengkak. Ditambah lingkaran hitam di sekitar mata yang membuatku kelihatan seperti belum tidur seminggu penuh.

Agar tidak ada lagi yang mengganjal di hatiku, pagi ini aku bertekad menuntaskan semuanya. Aku harus membunuh rasa penasaran yang bersemayam di hatiku agar dapat tidur dengan nyenyak.

Tidak peduli kalau sekujur tubuhku terasa remuk, aku tetap bangkit dari kasur dan bersiap-siap. Perasaanku semakin kacau saat tidak mendapati pesan apa pun dari Dicky pagi ini. Padahal kemarin kami agak bersitegang sebelum berpisah. Biasanya, Dicky bakal langsung menghubungiku di pagi hari, untuk minta maaf karena tidak ingin masalah kemarin menjadi berlarut-larut.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang