Jantungku berdebar lebih kencang saat mobil Dicky berhenti di parkiran Platinum, tempat favoritnya untuk nongkrong. Dan kata dia, tempat ini cocok untuk pemula sepertiku karena tidak terlalu ramai.
Rasa gugup menyerangku. Ini adalah sesuatu yang kuimpikan sejak berusia 17 tahun. Ingar bingar yang kuharap bisa menjadi pelarian dari berbagai emosi yang mengendap di dalam diriku, dan akhirnya aku bisa memasukinya. Salah satu momen yang sempat kuanggap mustahil kurasakan.
Aku menggenggam jemarinya lebih erat, ketika kami melangkah memasukinya. Namun, isinya tidak seperti yang terbayang di otakku. Alih-alih mendapati ruangan minim pencahayaan dengan musik keras, aku malah mendapati ruangan luas, dengan meja kursi khas restoran pada umumnya, lengkap dengan dapur yang berkonsep open kitchen.
Tatapanku langsung menusuk ke arah Dicky. Mengisyaratkan penuh ancaman, apakah dia sengaja mengajakku ke sini, padahal aku ingin clubbing.
Selama ini aku sering mencuri dengar bagaimana obrolan Dicky dan Reno yang cukup sering nongkrong di Platinum. Mulai dari menikmati musik dari DJ tertentu, sampai sekadar melamun untuk melepas penat. Yang jelas, aku yakin tempatnya tidak seperti yang kuhadapi sekarang.
"Mau duduk di mana?" Dicky sama sekali tidak terpengaruh oleh sorot tajamku.
"Barnya di sebelah mana?" aku balas bertanya, sambil berusaha memperhatikan tiap detail tempat ini.
"Ya ini!"
"Enggak usah bercanda!" sungutku. Anak TK juga tahu kalau ini hanya restoran biasa.
Di saat Dicky tertawa, aku langsung tahu kalau dugaanku benar. Dia mengerjaiku!
"Kamu enggak sabar banget sih!" ledeknya. Kemudian merangkul bahuku santai, mengajakku berjalan menuju lift.
Aku hanya diam karena lift nyaris penuh. Rangkulan Dicky semakin erat, seakan tidak mengizinkan tubuhku menempel pada orang lain selain dirinya. Ketika aku mendongak untuk menatapnya, sorot mata yang kulihat tampak tenang, mengalirkan rasa aman.
Lift berdenting lembut ketika kami sampai di lantai tiga. Begitu keluar dari lift, suasana yang selama ini terbayang di otakku langsung menyambut. Musik berdentum begitu kencang, berirama dengan pencahayaan tidak stabil yang warnanya berubah-ubah.
Dicky langsung mengajakku ke meja di dekat bartender. Dari sini, aku bisa melihat panggung kecil, tempat di mana seorang DJ tengah beraksi menampilkan musik yang memekakan telinga.
Beberapa kali Dicky berbicara, tapi tidak kudengar jelas. Sampai dia menyerah, lalu memesan minuman pada bartender.
Di saat minuman tersebut sudah jadi, dia menyodorkannya ke arahku. "Ini cocok buat kamu. Manis, dan aku request pakai rum-nya sedikit aja."
Tanpa berpikir lagi, aku langsung menyesapnya. Tidak terlalu buruk, karena didominasi oleh rasa manis, kelapa dan nanas yang dicampur menjadi satu. Tadinya aku sempat ragu dengan indra pengecapku, tapi melihat potongan nanas yang menjadi hiasan di gelas ini, aku langsung yakin kalau yang kurasakan adalah jus nanas. Namun setelah menyesapnya untuk yang kedua kali, aku baru merasakan ada sedikit rasa pahit yang kurasakan.
"Gimana? Enak enggak?" tanya Dicky antusias. "Kalau kamu kurang suka, bisa pesen yang lain. Kamu mau Mojito, atau Singapore Sling?"
Aku menggeleng. "Enak kok! Tapi aku yakin ini bukan jenis minuman yang kamu suka, kan? Soalnya ini manis."
Senyuman Dicky merekah. Dia seperti sedang membenarkan tebakanku dengan sumringah. Setelah beberapa kali Dicky lebih memilih teh tawar dibanding es teh manis, aku langsung menganggap kalau dia sama sekali tidak menyukai manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...