Aku sangat bersyukur dengan keberadaan teman-teman di kelasku. Dan terutama pada Dicky. Mereka semua memperlakukan aku seperti biasa, tanpa menyinggung Almarhumah Ibuku sama sekali. Malahan belakangan ini aku merasa kalau Tyra dan Vika jadi lebih banyak mengajakku ngobrol, ketimbang sebelumnya.
Sudah berlalu beberapa bulan, dan aku mulai terbiasa menjalani hidup baruku. Kini aku terbiasa hidup sendirian di rumah, dan tidak pernah merasa kesepian karena itu. Hidupku berangsur-angsur membaik, seiring kesibukan kuliah yang semakin padat.
Memasuki semester lima, makin banyak tugas yang diberikan. Ditambah jadwal praktikum yang semakin banyak, membuatku sibuk menulis laporan bertumpuk-tumpuk.
Meski begitu, tetap saja perasaanku masih tidak karuan kalau membahas soal keluarga. Bahkan sekarang hubunganku dengan Mbak Agnes dan Mas Alby semakin dingin. Bukannya aku menghindari mereka, aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana pada mereka.
Mas Alby dan Mbak Agnes memang memintaku untuk bersikap biasa saja. Berkali-kali dia berjanji, bahwa kenyataan yang baru kuketahui itu tidak akan mengubah apa-apa. Mereka mudah saja bilang begitu karena sudah tahu soal ini sejak lama. Sementara aku sudah berkali-kali berusaha mengabaikan fakta itu, tetap saja semuanya masih melekat kuat di kepalaku.
Dicky:
masih di kafe sama Reno dkkPesan tersebut masuk di saat aku sedang merebus air untuk membuat mie. Itu merupakan balasan dari pesan yang kukirimkan setengah jam lalu, menanyakan dia sedang di mana.
Sebenarnya aku juga diajak nongkrong di kafe itu oleh Vika, tapi aku menolaknya karena tidak enak hati. Sebelumnya kan aku sudah jarang ikut nongkrong dengan mereka. Aneh rasanya kalau tiba-tiba aku jadi suka ikut nongkrong cuma gara-gara Dicky sudah jadi pacarku. Takutnya mereka bakal menganggap aku posesif karena terus mengikuti ke mana pun Dicky berada.
Selain itu aku sengaja memberikan waktu agar bisa menghabiskan quality time dengan teman-temannya. Meski aku akrab dengan mereka juga, kuyakin obrolan mereka bakal berbeda antara ada aku di sana atau tidak ada. Makanya sepulang kuliah tadi, aku minta Pak Jono menjemputku.
Sebelum aku sempat membalas, pesan dari Dicky kembali masuk. "Udah makan belum?"
Kemudian aku membalasnya dengan mengirimkan foto panci berisi air yang hampir mendidih, yang juga memperlihatkan sebungkus mie di sebelah kompor yang belum kubuka. Di bawahnya aku menambahkan tulisan, "baru mau makan."
Sesuai dugaan, Dicky langsung meneleponku. Belakangan ini dia berubah menjadi seperti emak-emak cerewet yang suka melarang ini-itu. Setiap kali aku bilang ingin membuat mie, dia langsung mengomel dan bergegas menuju rumahku untuk mengajak membeli makanan yang menurutnya lebih layak dikonsumsi.
Awalnya aku kesal karena ada waktu-waktu di mana aku sangat ingin makan mie, tapi dilarang Dicky. Sampai aku harus diam-diam memasaknya agar tidak perlu ada drama.
Namun, belakangan ini, entah kenapa omelan Dicky terdengar sangat menggemaskan. Makanya beberapa kali aku suka memancing masalah agar dia mengomel. Biasanya dia bakal langsung meneleponku, sambil bersiap-siap datang ke rumahku. Begitu sampai rumahku, dia kembali mengomel dan akhirnya mengajakku makan bareng dengan menu lain yang menurutnya lebih sehat.
"Jangan makan mie!" peringatan Dicky langsung terdengar begitu aku menempelkan ponsel ke telinga setelah menekan tombol hijau.
"Kenapa?"
"Jangan pokoknya! Matiin kompornya sekarang!" serunya yang terdengar sangat serius.
Sayup-sayup aku mendengar suara percakapan di dekatnya. "Siapa sih? Karen ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...