13. Ibu

8.2K 1.4K 241
                                    


Aku memperbaiki posisi dudukku, karena pantatku mulai pegal. Entah sudah berapa menit aku duduk di sini mendengarkan omelan Ibu yang terus berulang. Dan aku nggak bisa mengatakan sepatah kata pun untuk memutus omelan Ibu. Kalau aku mengeluarkan sepatah kata saja, bisa-bisa Ibu semakin marah dan omelannya bakal lebih panjang lagi.

Tampaknya Ibu nggak akan berhenti sampai ada sesuatu yang mengalihkan perhatiannya. Di mana-mana semua Ibu itu sama. Kalau sedang mengomel begini, cukup didengarkan saja. Karena pada dasarnya mereka nggak butuh alasan apa pun.

"Kamu udah nggak sayang sama Ibu lagi ya, Dek?" omel Ibu. "Dikira Ibu nggak capek marahin kamu begini tiap hari? Ibu harus bilang berapa kali lagi sih? Susah banget ya, buat nurut sama Ibu? Kalau kamu nggak mau nurut sama Ibu, mau nurut sama siapa kamu?"

Napasku menghembus perlahan. Kalau Ibu tahu aku menghela napas kasar di depannya, yang ada omelannya bakal melebar ke mana-mana.

"Kenapa? Kamu udah capek ya, jadi anak Ibu?"

Ya ampun! Padahal aku cuma telat pulang ke rumah lima belas menit, bertepatan dengan azan magrib. Namun menurut Ibu, itu sudah terlalu petang.

Begitu motor Tyra berhenti di depan pagar, Ibu langsung keluar rumah dan menyambutku di ambang pintu dengan tatapan tajam. Tyra yang menyadari itu juga sempat ingin turun dari motor untuk menjelaskan pada Ibu, agar aku nggak kena marah. Akan tetapi, aku buru-buru mencegahnya dan menyuruh dia langsung pulang saja. Percuma mau dijelaskan seperti apa juga, Ibu nggak akan memaklumi. Yang ada, Tyra bisa kena marah juga nanti.

"Hari ini kuliah selesai jam 2, terus kenapa jam segini baru pulang?"

Aku nggak menjawab. Otakku malah memutar kembali kejadian tadi sepulang kuliah. Sebetulnya waktuku tadi lebih banyak dihabiskan untuk ngobrol di kelas. Kemudian berdiskusi harus mencari Dicky ke mana. Belum lagi Vika malah membahas hal lain yang ujung-ujungnya nyambung ke gebetannya.

Sebelum aku dan Tyra ke kos Dicky juga kami perlu mampir ke kos Reno dulu untuk meminjam helm. Ditambah lagi, perjalanan menuju kos Dicky yang agak jauh.

"Kalau Ibu tanya itu dijawab! Lihat Ibu!"

Seketika kepalaku mendongak. Aku hanya mampu membalas tatapan Ibu kurang dari satu menit. Setelahnya pandanganku beralih ke arah lain.

Tadinya aku sengaja nggak memikirkan apa alasan untuk kukatakan pada Ibu, karena biasanya Ibu nggak pernah menerima alasanku. Mau alasan jujur atau mengarang, Ibu selalu menganggap semua alasanku itu bohong. Aku bakal tetap diomeli.

Namun, karena Ibu terus menodong apa alasannya, aku jadi harus berpikir keras.

"Kerja kelompok," jawabku pelan.

"Kerja kelompok dari jam berapa? Tugasnya sebanyak apa? Dikerjakan di rumah kan bisa! Ibu bisa ngajarin!" sahut Ibu dengan nada naik satu oktaf.

Tentu saja aku sudah bisa menebak jawaban Ibu. Kerja kelompok adalah alasan paling basi yang pernah kupakai. Habisnya otakku sama sekali nggak bisa berpikir harus jawab apa. Kan nggak mungkin aku mengaku kalau habis ke kos Dicky. Bisa-bisa sampai seminggu ke depan aku dimusuhi oleh Ibu.

"Kan itu kerja kelompok, jadi dikerjainnya harus bareng-bareng," namun aku tetap berusaha membela diri.

"Nggak harus. Kan bisa dibagi jatahnya, siapa yang ngerjain bagian A, B, C dan D. Setelah itu masing-masing bisa kerjain bagiannya di rumah sendiri. Nanti kalau mau diskusi, bisa lewat chat atau telepon. Nggak usah nyari-nyari alasan terus. Ibu itu kerja dari pagi sampai sore udah capek. Kamu nggak usah bikin Ibu tambah capek. Kan kerja kelompoknya bisa di hari Rabu pas jadwal kuliahnya agak lowong. Jadi bisa tetep pulang sebelum magrib!"

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang