Entah karena apa, perjalanan menuju Gunung Merbabu kali ini terasa jauh lebih menyenangkan ketimbang saat pertama kali ke sini. Meski sekujur tubuhku terasa pegal-pegal, semuanya terbayar impas saat kami sampai di puncak. Memori ponselku sampai hampir penuh karena aku benar-benar mengabadikan setiap pemandangan di sekitarku. Termasuk foto-foto bersama pacar dan teman-temanku juga.
Saat pulang, yang menaiki mobilku berganti. Reno dan Rangga yang naik motor, sedangkan Adam dan Tyra naik ke mobil Dicky. Perjalanan pulang dari basecamp menuju kontrakan Adam terasa lebih cepat karena hampir seisi mobil tidur semua, minus supirnya tentu saja.
Di tengah perjalanan tadi, Adam menawarkan untuk menggantikan Dicky menyetir. Namun, Dicky menolaknya dengan alasan nanggung. Katanya dia sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh.
"Dicky kalau balik ke rumah juga naik mobil sendiri, Ren!" ujar Tyra santai.
Keningku mengerut penuh tanya. Seperti ada kepalan tangan tak kasat mata yang menonjok wajahku. Gila, setelah hampir setahun hubunganku dengan Dicky berlangsung, aku belum tahu dari mana asalnya!
Aku sudah banyak sekali bercerita tentang hidupku, mulai dari yang tidak penting sampai yang terpenting. Meski awalnya Dicky sangat tertutup, belakangan dia mulai membuka dirinya padaku. Namun, tetap saja dia tidak memberitahuku dari mana asalnya. Sesuatu paling basic yang seharusnya kuketahui sejak awal.
Pandanganku berpindah pada Tyra yang duduk di sebelahku di barisan tengah mobil Dicky. Raut wajahnya terlihat santai, seolah informasi di mana rumah keluarga Dicky merupakan sesuatu yang sudah diketahui semua orang di sini.
Aku mengalihkan pandangan dengan dada sesak. Kenapa aku bodoh sekali sampai melewatkan informasi sepenting ini?
Demi melindungi kebodohanku dari Tyra dan yang lain, aku tidak ikut menanggapi. Berusaha terlihat biasa saja agar teman-temanku tidak curiga. Kalau Vika atau Tyra tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa soal pacarku sendiri, bisa-bisa mereka menertawakanku.
Sampai mobil Dicky terparkir di kontrakan Adam, aku masih diam. Mood-ku mendadak hilang, padahal sebelumnya aku senang sekali karena pendakian kami lancar.
Rangga dan Reno sudah sampai lebih dulu. Mereka bahkan sudah rebahan santai di ruang tamu, seakan itu rumahnya sendiri. Tadi sebelum berangkat, Adam memang sudah menyerahkan kunci kontrakannya pada mereka, karena sudah menebak kalau mereka bakal sampai lebih dulu, mengingat naik motor kan bisa lebih gesit ketimbang naik mobil.
"Nih, ada es teh! Minum ... nggak usah sungkan, anggap aja rumah sendiri!" kelakar Reno sambil menunjuk bungkusan es teh di meja.
Sekarang sudah pukul enam sore. Tubuhku sangat lelah dan lengket. Begitu sampai kembali di basecamp tadi siang, aku langsung mandi. Namun, tetap saja sekarang sudah berkeringat lagi. Rasanya aku hanya ingin segera mandi dan tidur sampai besok.
"Makan dulu yuk! Pesen aja lah, biar cepet!" ajak Vika yang sudah rebahan di sofa lain dengan Alesia.
Aku dan Tyra duduk lesehan di karpet sambil bersandar di kaki sofa. Sementara Dicky dan Adam malah merebahkan tubuh di lantai dengan tangan terlentang.
"Boleh! Buruan pesan, Dik! Lo kan bandarnya!" sahut Rangga enteng.
Perutku memang sudah lapar banget. Namun, suasana hatiku yang buruk membuat selera makanku hilang. Satu-satunya yang ingin kulakukan sekarang hanyalah pulang ke rumah secepatnya.
"Yah, hape gue lowbatt!" keluh Dicky setelah mengeluarkan ponsel dari saku. Dengan tampang ogah-ogahan, dia pun beranjak duduk.
Aku terkejut saat tahu-tahu Dicky sudah berjongkok di depanku. "Mau power bank!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...