Mas Alby melarangku ikut bergabung dengan obrolan mereka. Akhirnya aku hanya duduk di ruang tengah, mengawasi Kenzi yang asyik bermain bersama Mbak Sus.
Gara-gara ide spontanku itu, Dicky setuju langsung pulang setelah kekenyangan. Dia tampak ingin menuruti ajakanku, tapi masih ragu entah kenapa.
Selama perjalanan tadi aku mengabari Mas Alby kalau akan mengenalkan Dicky padanya. Tentu saja Mas Alby langsung bersemangat. Dia tampak sangat menantikan kedatangan kami, sehingga langsung keluar menyambutku, begitu kami sampai. Lebih tepatnya menyambut Dicky.
Aku tidak berpesan apa pun pada Dicky untuk dikatakan pada Mas Alby. Masalahnya sejak tadi aku juga bingung harus bilang bagaimana. Makanya sekarang aku sama sekali tidak tahu apa saja yang akan dia katakan pada Mas Alby. Artinya dia bisa saja mengatakan yang sejujurnya kalau niatnya mengajakku pacaran cuma karena iseng, atau mungkin cuma ingin memanfaatkan kepolosanku saja.
Dan kalau itu terjadi, artinya hubungan ini harus segera diakhiri.
Menyadari hal itu, kini kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Rasanya aku gatal ingin mengintip ke halaman belakang, agar bisa menyimak obrolan mereka. Namun, suara Kenzi yang terus memanggil namaku berhasil menggagalkan niatku.
"Ateee! Kamu tahu Pororo nggak? Aku mau liat Pororo!" seru Kenzi heboh, sembari menggoyang-goyangkan tubuhku.
Tanpa menyahut, aku mengambil remote televisi, ingin menyalakan film kartun yang dia maksud.
"Kata Ibu, jatah nonton TV Kenzi udah habis, Mbak. Dia nggak boleh nonton TV lagi hari ini!" sela Mbak Sus.
"Tuh, kata Mama nggak boleh nonton TV, Zi!" Akhirnya aku menaruh kembali remote-nya.
"Cuma bentar! Aku mau liat Pororo!" Kali ini Kenzi berseru lebih heboh, kemudian mengeluarkan jurus andalannya; menangis.
Di saat Mbak Sus sudah ingin mnggendong, suara Mas Alby yang baru muncul dari pintu belakang terdengar. "Udah ngantuk itu, makanya rewel!"
"Mbak Agnes nginep di rumah Ibu lagi, Mas?" tanyaku setelah Mas Alby menggendong Kenzi, dan berusaha menenangkannya.
"Nggak. Hari ini balik kok. Ibu juga nggak tega kalau Kenzi jauh dari Mamanya terus. Dari kemarin jadi agak rewel nih! Udah kangen Mama ya, Dek?" Mas Alby mengatakannya sambil mengecupi pipi Kenzi bergantian.
Melihatnya, aku jadi merasa bersalah. Kalau saja aku tidak bertengkar dengan Ibu, Mbak Agnes tidak perlu berpisah dengan Kenzi begini. Sejujurnya aku juga penasaran dengan apa yang dilakukan Mbak Agnes kalau berduaan bersama Ibu saja.
Masalahnya, setiap hari aku hanya berdua dengan Ibu, nyaris tidak pernah terlibat obrolan seru. Saat makan malam bersama, suara TV lebih mendominasi. Selanjutnya aku langsung ke kamar, sementara Ibu ke ruang kerjanya. Entah mengoreksi kuis mahasiswanya, membuat soal, atau semacamnya. Kami baru akan bertemu lagi di pagi hari, saat sarapan dengan kondisi yang sama sepinya.
"Kok malah ngelamun sih, Dek? Katanya mau pergi? Nggak siap-siap?" suara Mas Alby menyedot perhatianku.
Sontak aku memelotot. "Boleh?"
Mas Alby mengangguk. "Yang penting jangan aneh-aneh!"
"Aku beneran cuma penasaran! Setidaknya aku pengen liat tempatnya kayak gimana secara langsung sekali seumur hidup! Janji deh, nggak akan ketagihan!"
Tanpa menyahut, Mas Alby berpaling pada Dicky yang berdiri di sisinya. "Dengan syarat, Dicky harus sadar 100%. Nggak boleh minum sedikit pun!"
"Siap, Mas!" ucap Dicky mantap.
"Aduh, Kenzi ganteng banget sih! Ya iyalah, anaknya siapa duluuu?" seruku kegirangan sambil mengecup pipi Kenzi, lalu bergegas memasuki kamar tamu yang sejak kemarin kutempati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...