Sejak kecil, aku tuh anak rumahan. Mau hari libur dalam rangka apa pun, jarang sekali keluar rumah kalau tidak penting-penting banget. Ibu lebih suka berdiam di ruang kerjanya dengan pekerjaannya, atau membaca buku ilmiah. Sedangkan aku hanya tiduran seharian sambil menonton televisi. Tidak ada yang menarik dari keseharianku sebelum mengenal Dicky.
Dicky orang pertama yang mengajakku mengunjungi berbagai tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Dan dengan caranya sendiri, dia berhasil mewarnai hari-hariku menjadi lebih menyenangkan. Bahkan meski kami di rumah saja seharian, selalu ada hal menyenangkan yang bisa kami lakukan. Aku tidak pernah merasa bosan saat menghabiskan waktu bersamanya. Semua waktu yang kami lewati bersama adalah masa-masa berharga yang sangat ingin kuulangi sekali lagi.
Dicky adalah orang yang tepat. Dia datang tepat ketika aku sangat membutuhkan seseorang untuk menempati tempat spesial di hatiku. Ketika aku jenuh dengan semuanya dan butuh melihat lebih banyak hal menarik di dunia ini. Kehadirannya berhasil mengisi kekosongan di hatiku, yang langsung terasa lengkap oleh segala pesona yang dimilikinya.
Dan yang menyesakkan, dia pergi tepat ketika aku sudah jatuh terlalu dalam. Semuanya terlalu tiba-tiba. Bagai bom waktu yang disembunyikan. Tinggal menunggu kapan akan meledak, dan menghancurkan semuanya.
"Ren!" sayup-sayup aku mendengar teriakan dari lantai satu.
Buru-buru aku mengelap air mata di sudut mataku. Kemudian memeluk guling membelakangi pintu kamarku, dan memejamkan mata. Lebih baik aku pura-pura tidur, ketimbang harus mengeluarkan energi untuk menanggapi si pemilik suara melengking itu.
"Karen!"
Tidak lama kemudian, pintu kamarku dibuka. Aku merasakan derap langkah memasuki kamarku.
"Ya ampun, ternyata masih tidur!" Itu suara Mbak Agnes. Kini sebuah tangan menarik selimut yang menutupi separuh tubuhku.
"Bangun, Ren! Mentang-mentang hari Minggu, bukan berarti bisa tidur seharian! Kamu nggak bosen apa di rumah doang?" Mbak Agnes terus menggoyang-goyang tubuhku selagi mengomel.
Aku berpura-pura menggeliat, kemudian membuka mata perlahan. "Ngapain sih, Mbak?"
"Ayo siap-siap!"
"Ke mana?" tanyaku malas.
"Ke Bali."
Aku mendengus. "Nggak usah bercanda!"
"Serius ini! Ayo makanya cepet siap-siap! Kita flight jam 12." Mbak Agnes melangkah menuju gorden kamarku dan membukanya lebar-lebar. "Cepet! Ini semuanya udah siap, tinggal nunggu kamu doang!"
Tanpa menunggu sahutanku, Mbak Agnes sudah keluar dari kamarku. Seakan tidak menerima penolakanku sama sekali. Mau tidak mau, aku beranjak dari kasur. Bahkan aku tidak mandi saking malasnya terkena air banyak-banyak. Aku hanya mencuci muka dan sikat gigi. Untuk mensiasati rambutku yang agak lepek, aku memakai dry shampoo, lalu menyisirnya dengan jari.
Aku memilih pakaian kasual, kemeja berbahan rayon lengan pendek dan celana jeans pendek setengah paha. Kemudian menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhku sebagai sentuhan terakhir. Berhubung aku belum tahu Bali yang dimaksud Mbak Agnes itu sebelah mana dan bakal berapa lama di sana, aku belum packing. Aku keluar dari kamar dulu, untuk meminta penjelasan lebih lanjut tentang liburan dadakan ini.
Dari tangga, aku bisa melihat Mas Alby dan Kenzi di ruang tengah sedang menonton televisi. Sedangkan Mbak Agnes, di dapur menyiapkan sarapan.
"Mau ngapain sih, Mas?" keluhku sambil menempati sofa di sebelah Mas Alby.
"Minimal mandi kek!" cibir Mas Alby dengan gelengan kecil.
"Emang keliatan banget kalo nggak mandi?" tanyaku malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...