14. Mancing

8.9K 1.5K 280
                                    

Aku bukan tipe orang yang banyak bicara. Sama halnya dengan Ibu. Biasanya selalu aku yang mengalah dan membuka percakapan terlebih dahulu, setiap kali kami bertengkar seperti sekarang.

Namun, entah kenapa pagi ini aku sedang tidak ingin bicara apa-apa. Tentu saja aku sangat tidak nyaman dengan keheningan ini, tapi di sisi lain egoku juga terluka.

Maksudnya, kemarin kan aku cuma terlambat lima belas menit. Kenapa Ibu marah sampai mendiamkanku keesokan harinya? Itu berlebihan nggak sih?

Kecuali, aku pulang pukul delapan malam, baru aku akan memaklumi kalau Ibu mendiamkanku berhari-hari.

Lama kelamaan, suasana yang meliputi meja makan semakin nggak nyaman. Di saat aku sudah membuka mulut untuk memulai pembicaraan, suara Ibu lebih dulu terdengar, "Ibu udah telpon Pak Jono. Nanti kamu ke kampusnya dianter-jemput sama Pak Jono aja, sampai seterusnya!"

"Nggak mau!" bantahku spontan.

Pak Jono itu mantan supir keluargaku. Beliau sudah bekerja sejak aku masih TK, dan baru resign ketika aku lulus SMA karena anaknya menikah. Sebetulnya aku berhubungan sangat baik dengan Pak Jono, tapi saat mendengar kabar beliau berhenti bekerja, kebahagiaanku meluap-luap.

Tentu saja aku senang karena pada akhirnya bisa membuat alasan untuk berangkat ke kampus sendiri. Mulanya Ibu nggak mengizinkan dan bersikeras mencari supir lain. Namun, Ibu sangat teliti dan sulit percaya dengan orang lain, sehingga proses pencarian supir itu nggak berakhir juga sampai sekarang.

"Mulai hari ini Pak Jono udah kerja sama kita lagi. Kamu nggak perlu naik ojek lagi," jelas Ibu bersikeras.

Seperti yang pernah kubilang, Ibu nggak pernah membutuhkan pendapatku sama sekali. Segala hal yang ada di rumah ini merupakan keputusannya. Nggak ada yang bisa mengganggu gugat. Ah, ralat. Hanya kakak pertamaku yang bisa membuat Ibu berubah pikiran.

Seandainya Bapakku masih hidup, mungkin saat ini cuma Bapak yang bakal mendengarkan dan membelaku. Sayangnya, Bapak meninggalkanku begitu cepat, yang bahkan aku belum sempat mengingat kenangan apa pun bersama Bapak.

Tanpa mengatakan apa pun, aku mengambil totebag yang biasa kubawa ke kampus, dan segera keluar rumah. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus. Bahkan kelasku baru akan dimulai dua jam lagi. Namun, lebih baik aku melamun sendirian di kantin fakultas, ketimbang berlama-lama di rumah. Aku takut nanti malah jadi durhaka kalau nggak sengaja melampiaskan emosiku pada Ibu.

Sayup-sayup aku mendengar suara teriakan Ibu memanggil namaku, tapi nggak kugubris. Aku justru mempercepat langkahku menuju gapura komplek sambil mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online.

Untung saja ini hari Selasa, di mana jadwal kuliahku penuh sampai pukul lima sore. Sehingga aku bisa menyibukkan diri dengan kegiatan di kampus tanpa memikirkan permasalahan yang sebenarnya sepele banget ini. Entah bakal sampai kapan masalah ini akan berlanjut.

Sepanjang kuliah aku jadi uring-uringan. Marahan dengan Ibu bukanlah sesuatu yang kuinginkan. Namun, juga nggak bisa kucegah. Selama bertahun-tahun aku sudah mencoba berbagai metode untuk meluluhkan hati Ibu, dan tidak ada yang berhasil satu pun. Keteguhan hati Ibu sama sekali nggak bisa tergoyahkan oleh apa pun.

Sebetulnya yang aku inginkan itu nggak muluk-muluk kok. Aku hanya ingin dipercayai. Selama ini, setiap kali aku main dengan temanku entah di SMP sampai sekarang, Ibu selalu meminta bukti foto real time. Seolah perkataanku saja nggak cukup untuk membuat Ibu percaya. Aku nggak bisa bebas melakukan hal-hal yang kusuka, seperti fangirling, dan nongkrong dengan teman-teman. Ibu benar-benar mengekangku sampai seluruh tubuhku terasa sesak. Entah kalau ini terus berlanjut, apakah aku masih bisa bernapas sampai sepuluh tahun ke depan atau tidak.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang