"Pacar Dicky," jawabku spontan.Raut wajah Vanya langsung berubah pucat. Dia tampak terkejut, kemudian kilatan emosi tergambar jelas dalam sorot matanya. "Yakin, lo pacarnya?"
Aku mengangguk tanpa ragu. "Lo siapa?"
Rasa insecure yang mengendap di dadaku membuat egoku meninggi sehingga tidak mau kalah dengannya. Tidak peduli bagaimana reaksi Dicky nanti kalau mengetahui ini, yang jelas aku harus memperjuangkan status jomlo Dicky terlebih dahulu. Jangan sampai membiarkan dia punya gebetan baru, agar kesempatanku untuk balikan dengannya tidak mengecil.
"Terus, kenapa waktu Dicky sakit dia nggak ngehubungin lo? Malah chat gue dan minta dibawain obat dengan alasan gue anak kedokteran. Padahal gue masih kuliah. Siapa pun juga tahu kalau gue nggak bisa kasih obat sembarangan. Jadi itu artinya dia cuma modus ke gue, kan? Biar gue samperin?" suara Vanya yang meninggi berhasil membuat dadaku kian sesak.
Vanya tidak hanya menamparku dengan kenyataan, tapi juga mengusik egoku karena kalimatnya seakan membandingkan diriku dengannya yang mungkin menurutnya tidak sebanding.
"Gue sama Dicky cuma lagi berantem, karena gue dideketin cowok yang lagi koas. Dia nggak terima, terus bales ngechat siapa pun di kontaknya yang anak kedokteran juga biar gue cemburu. Buktinya, gue yang ditelepon sama dia duluan! Karena dia emang lebih butuh gue, daripada lo!"
Aku bisa melihat emosi Vanya yang kian mendidih. Kemudian dia mengangkat ponselnya seakan ingin menelepon Dicky agar cowok itu keluar dan menyelesaikan semua ini.
Namun, ternyata dugaanku salah. Dia tidak menelepon Dicky. Wajahnya merah padam saat melihat ponsel, entah kenapa. Lalu mengumpat, "Dicky bangsat!"
Setelah itu, Vanya pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun lagi.
Aku menarik napas panjang, untuk meredakan emosiku. Entah ada hubungan apa cewek tadi dengan Dicky saat ini, kedatangannya sudah cukup membuat emosiku mendidih. Kemudian aku teringat dengan percakapan Vika dan Tyra waktu itu yang mengatakan bahwa Dicky sempat punya gebetan anak Kedokteran. Apa jangan-jangan, anak Kedokteran yang dimaksud itu adalah Vanya?
Dan kalau memang benar, Vanya adalah gebetan Dicky dulu, kenapa sekarang Dicky menghubunginya lagi? Apa dia benar-benar berpikiran untuk melupakanku dan kembali mendekati Vanya?
Lamunanku terpecah ketika mendengar suara si Ibu Kos dari balik punggungku.
"Lho, Mas Dicky sakit tho?"
Otomatis tubuhku memutar, dan mendapati sosok jangkung yang sangat kurindukan belakangan ini tengah berdiri satu meter di depanku. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan ekspresi yang tidak mampu kuartikan. Matanya terlihat sayu, pergabungan antara rasa lelah dan kantuk.
Jantungku berdegup lebih kencang. Otakku langsung menerka-nerka sejak kapan dia berdiri di sana. Apa dia mendengar percakapanku dengan Vanya?
Dicky menoleh pada Ibu Kos, sambil terkekeh santai. "Biasa, Bu. Masuk angin kayaknya!"
Kemudian dia berjalan lemah menuju dapur, sementara aku tetap berdiri di tempat memandangi gerak punggungnya yang menjauh. Ia mengambil gelas di lemari kabinet, dan mengisinya dengan air putih dari dispenser.
Setelah itu, dia kembali membuka lemari kabinet dan mengeluarkan botol Tupperware dari sana. Ia mengisi penuh botol tersebut, lalu beranjak kembali ke anak tangga. Dia melewatiku begitu saja, tanpa mengatakan apa-apa, seoalah keberadaanku tidak terlihat di matanya.
Aku sudah ingin menarik tangannya agar mau berbicara denganku, tapi berusaha menahan diri karena ingat di sini masih ada Ibu kos. Lebih baik aku menyusul ke kamarnya saja agar kami bisa bicara dengan lebih leluasa. Untungnya, si Ibu kos tidak terlihat curiga dengan perubahan sikap Dicky barusan. Beliau tampak memahami, kalau bisa saja Dicky sedang tidak enak badan sehingga malas berbasa-basi, dan ingin segera istirahat saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbreak Girl (COMPLETED)
RomanceSelama ini hidup Karen begitu datar. Dia hanya mengisi sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengagumi kakak tingkat di kampusnya. Namun, entah karena angin dari mana, tiba-tiba saja Dicky mengganggu hidupnya. Sebagai cowok yang terkenal memili...