48. Sakit

7.5K 1K 19
                                    

Aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Kalau bisa, aku ingin segera pergi dari sini tanpa perlu penjelasan apa-apa. Ternyata aku tidak sekuat itu untuk berlama-lama berhadapan dengannya. Lagi pula, semua penjelasannya juga tidak akan mengubah apa pun, kan?

Icam tetap anak kandungnya. Dan dia berbohong. Entah apa pun alasannya untuk semua kebohongan yang dia lakukan, itu tetap menyakitiku. Dan yang lebih penting, semua ini tidak mampu mengubah keputusanku tentang memiliki anak. Aku tetap tidak menginginkannya. Malahan, hal ini membuat keinginanku semakin kuat.

Artinya, hubunganku dengan Dicky sungguhan tidak dapat berlanjut, kan?

Aku tidak bisa menjadi Ibu untuk anak itu. Sementara Dicky perlu segera menikah untuk kemudian mengadopsi anak itu, agar secara resmi menjadi anak kandungnya.

Aku menjelaskan semuanya pada Dicky setelah meletakkan Icam yang sudah terlelap di kasur. Seperti sudah bisa membaca keinginanku, Dicky langsung menghalangi langkahku yang sudah ingin mencapai pintu kosnya dengan sorot tajam. Melihatnya yang sama sekali tidak membiarkanku pergi, mau tidak mau aku pasrah duduk di ruang tengah kosnya.

Agar semuanya lebih cepat, aku merangkum semua keluh kesahku, yang berujung pada berakhirnya hubungan kami.

Dicky diam saja sepanjang aku bicara. Tatapannya lurus ke arahku dengan bola mata berkaca-kaca. Kali ini kehancuran yang dipancarkan dari sorot matanya tidak berusaha ia tutup-tutupi.

Emosiku semakin mendidih. "Jangan playing victim! Bukan cuma kamu yang hancur. Aku juga! Kamu nggak ngerti gimana rasanya sudah percaya sama seseorang, dan mencintainya dengan tulus, tapi malah dibohongi terus-terusan kayak gini!"

"Emang kalau sejak awal aku kasih tau, kamu bakal menerima semuanya?" suaranya terdengar lirih.

Keheningan mengisi ruang tengah apartemen Dicky. Bibirku tertutup rapat, membiarkan kekosongan di antara kami yang menjawab.

Dicky tertawa sumbang. "Enggak, kan?"

Sudut hatiku mengiakan. Memang sejak awal kan, aku sudah bilang bahwa memiliki anak itu tidak ada dalam kamus hidupku. Apalagi kalau itu bukan anak kandung. Aku tidak yakin bisa menjadi ibu yang baik.

"Bisa aja ini emang isyarat dari Tuhan kalau kita nggak berjodoh. Aku bukan perempuan yang selama ini kamu butuhkan!"

Benar kan, apa aku bilang? Tidak ada yang perlu dijelaskan dari semua masalah ini. Harusnya aku tidak perlu membuang waktu lama-lama di sini. Penjelasan seperti apa pun, tidak akan bisa mengembalikan hubungan kami yang sudah hancur.

Merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, aku pun beranjak. Dadaku semakin sesak, jadi tidak bisa berada di sini lebih lama lagi.

Kali ini Dicky tidak mencegahku. Dia tetap duduk di tempatnya, dengan kepala tertunduk. Bahkan saat aku mengembalikan kunci kosnya yang kupegang di meja, dia tidak menyahuti apa-apa.

Aku segera menelepon Pak Jono agar menjemputku. Selagi menunggu, aku duduk di ruang tengah. Sinar matahari yang terlalu panas membuatku malas menunggu di luar. Lagi pula, aku yakin pembicaraanku dengan Dicky tadi sudah selesai, jadi tidak perlu khawatir dia bakal menyusulku. Selain itu, ada anaknya yang sedang tidur di kosnya, sehingga dia tidak bisa memaksaku untuk mengantar pulang atau semacamnya.

"Tadi bukannya Icam sama Mas Dicky sudah pulang ya, Mbak? Itu mobilnya sudah ada!" sapa si Ibu penjaga kos.

Aku membalasnya dengan senyum seadanya. "Iya, Bu. Sekarang Icamnya lagi tidur. Aku memang niatnya mau main sebentar aja, karena ada urusan lain. Ini lagi nunggu jemputan!"

Si Ibu manggut-manggut. "Oh, pasti sekarang Mas Dicky juga ikutan tidur ya? Kasihan banget dia, kemarin baru pulang naik gunung, langsung jemput Icam. Apalagi semalam Icam rewel minta berenang, disuruh tidur susahnya, minta ampun! Padahal Mas Dicky kelihatan udah capek banget. Akhirnya Icam mau tidur setelah digendong Mas Dicky dua jam.Terus tadi subuh, begitu Icam bangun, langsung ngerengek minta renang."

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang