41. About The Past

7.3K 1.1K 63
                                    

Setelah beberapa menit menenangkan diri, akhirnya Mbak Agnes membuka suara. "Sebenernya dari kecil Ibu bebasin aku mau main ke mana pun. Pacaran juga boleh. Aku udah pacar dari SMP, dan Ibu kenal sama dia. Bahkan sering main ke rumah juga, ngobrol sama Ibu. Pas SMA, kita beda sekolah, jadi kalau ketemu cuma bisa seminggu sekali atau seminggu dua kali. Waktu itu di kampus Ibu lagi ada akreditasi yang berbarengan sama proyek penelitian Ibu. Ditambah lagi, saat itu Ibu menjabat jadi Kaprodi. Ibu bener-bener sibuk banget, sering pulang jam sembilanan gitu, dan begitu sampai rumah pun udah capek, terus langsung tidur, tanpa ngecek dulu aku udah di rumah atau enggak. Karena itu juga, lama-lama aku jadi bandel suka coba hal baru. Aku sering keluar malem sama temen-temen dan pacarku. Entah itu cuma nongkrong di kafe sampai tengah malam, dateng ke konser musik, bahkan main di beberapa club, sampai pernah diusir satpam karena ketahuan masih di bawah umur."

Mbak Agnes bercerita dengan pandangan lurus ke depan. Aku bisa membaca jelas binar kesedihan di matanya, yang diliputi oleh penyesalan. Meski sudah bisa menebak bagaimana akhirnya, aku tetap diam menyimak. Menunggunya menyelesaikan cerita.

"Singkatnya, pas semester dua kelas 1 SMA, aku hamil. Aku nangis banget dan langsung berlutut ke Ibu untuk minta maaf. Tapi Ibu nggak marah sama sekali, dan itu bikin aku semakin ngerasa bersalah. Ibu cuma suruh aku duduk di sebelahnya, buat ceritain apa aja yang udah aku lakuin tanpa sepengetahuan beliau. Ibu tanya, gimana perasaan aku saat melakukan itu semua, juga minta aku jelasin gimana perasaanku saat tahu kalau aku hamil."

Sejenak Mbak Agnes mengambil jeda. Lalu tersenyum pahit. "Setelah denger semua kata-kataku, Ibu nggak marah. Cuma bilang, 'Ibu nggak akan nasihatin kamu panjang lebar, ini karena Ibu sudah lalai jaga kamu. Dan Ibu tahu kalau yang kamu butuhkan saat ini bukan omelan. Kamu pasti sudah bisa ngerti sendiri pelajaran apa yang harus diambil dari kejadian ini.' Terus Ibu telepon temennya di kampus buat batalin jadi pembimbing skripsi. Mumpung waktu itu baru awal semester genap, jadi anak bimbingannya masih bisa dipindah ke dosen lain."

Kemudian Mbak Agnes berhenti cukup lama, sampai akhirnya air matanya kembali mengalir. Aku beranjak dari kursi, lalu mempersilakan Mbak Agnes menempatinya, sambil menepuk-nepuk bahunya agar lebih tenang.

"Demi menyelamatkan mentalku, Ibu langsung ngajuin surat pindah sekolah. Dan yang paling parah, Ibu juga resign dari kampus. Karena nggak bisa resign dadakan, jadi Ibu tetep bertahan satu bulan di kampus itu sambil menyelesaikan urusannya. Ibu lepasin jabatannya sebagai Kaprodi—yang udah dirintis bertahun-tahun. Terus ajak aku pindah ke kota lain untuk memulai hidup baru. Ibu nggak ceritain ini ke siapa pun. Bahkan ke keluarga besar sekalipun. Setelah rumah berhasil dijual, Ibu kontrak rumah lain yang lebih sederhana. Selama setahun aku berhenti sekolah, dan Ibu juga nggak kerja. Kata Ibu, masih ada tabungan untuk bertahan hidup sampai setahun ke depan. Tapi sambil ngisi waktu luang, Ibu buka freelance penerjemah jurnal internasional, juga jasa konsultasi skripsi dan bimbingan mengerjakan PKM. Begitu kamu lahir, Ibu langsung daftarin kamu sebagai anak Ibu, karena menganggap masa depanku masih panjang, dan kamu bukan penghalang dalam hidup kami."

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mengamati keadaan sekelilingku. Rasanya seperti baru saja mendengar dongeng. Ah, bukan, lebih tepatnya, seperti baru saja mendengarkan alur cerita sinetron. Dan sialnya, itu semua bukan sinetron, melainkan kisah hidupku.

Kini seluruh rasa penasaranku terjawab. Alasan Ibu mengekangku terlalu kuat, juga beberapa perlakuan Ibu yang berbeda saat menghadapi aku dan Mbak Agnes. Selama ini, aku banyak menceritakan betapa ketatnya aturan Ibu yang suka melarangku ini-itu tanpa penjelasan. Padahal, setelah kuingat-ingat lagi, ada banyak sekali momen Ibu yang menampakkan seberapa besar rasa sayangnya padaku. Namun, semua itu tidak terlanjur tenggelam oleh berbagai kekesalanku pada Ibu.

"Pacar Mbak saat itu ... nggak tau soal aku?" tanyaku dengan lidah bergetar.

Mbak Agnes menggeleng. "Ibu pilih buat nggak berurusan sama dia, maupun keluarganya. Karena Ibu khawatir kalau semuanya nggak sesuai harapan. Setiap orang menyikapi masalah itu beda-beda kan, meski pacarku selama ini baik dan keluarganya juga suka sama aku, belum tentu mereka semua bisa menerima ini. Lagi pula, semisal dia mau tanggung jawab, Ibu nggak setuju aku menikah di usia semuda itu. Saat itu bahkan aku belum punya KTP. Masih 16 tahun. Selain itu, Ibu juga berpikir kalau ini semua terjadi juga karena kesalahanku, bukan sepenuhnya salah cowok itu. Makanya nggak adil kalau menuntut sesuatu ke mereka. Terus Ibu juga merasa kalau masih mampu membiayai hidup kita berdua, jadi supaya mentalku tetap aman, Ibu pilih nggak usah menghubungi mereka sama sekali."

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang