33. Just Trust Me!

9.4K 1.3K 109
                                    

Gagasan soal aku yang tidak ingin mempunyai anak itu sudah lama sekali terbesit di otakku. Barangkali sejak aku mulai kesal dengan seluruh aturan Ibu, pikiran itu terlintas begitu saja.

Mulanya, aku berpikir, "besok kalau punya anak, aku bakal begini dan begitu." Setiap kali aku kesal dengan cara Ibu mendidikku, pikiran itu langsung muncul. Namun, suatu hari di saat aku sedang bermain di rumah Mbak Agnes, aku menyaksikan sendiri bagaimana Mbak Agnes yang kesulitan mengontrol pola makan Kenzi. Saat itu Kenzi hanya mau makan camilan, tidak mau sesuap nasi pun. Bocah itu juga mulai memberontak saat keinginannya tidak dituruti, seperti saat ingin membeli mainan dan semacamnya.

Saat itu aku bilang, "Makanya Mbak, jangan dibiasain apa-apa diturutin. Jadinya gini deh, kalau nggak dituruti langsung tantrum."

Kemudian Mbak Agnes menyahut, "Dari awal juga aku udah berusaha buat kasih dia pemahaman soal itu, bahwa nggak semua yang dia inginkan bisa terwujud. Coba aja tanya Mas Alby gimana dari awal aku ketat soal ini. Mulai dari jam nonton Youtube, sampai jadwal makan camilan aja aku atur. Tapi seiring perkembamgannya, dia udah ngerti apa yang dia mau, jadinya gini. Awalnya aku tetep keukeuh mau maksain. Tapi setelah itu aku sadar, bahwa nggak semua yang kita usahakan itu bisa berakhir dengan sempurna seperti harapan kita. Jadi ya, lama-lama aku pasrah aja deh, dia maunya apa, asalkan anaknya sehat dan ceria. Daripada aku jadi ikut stres kalau terus-terusan maksain kehendakku buat jadi Ibu idealis yang mau ngikutin konsep parenting orang-orang di social media."

Semenjak itulah, gagasan soal tidak ingin mempunyai anak kerap berputar di otakku. Apalagi saat sebelum tidur, di mana itu adalah waktu paling rawan untuk overthinking. Aku sering khawatir dengan berbagai kemungkinan di masa depan, yang belum tentu bakal terjadi. Termasuk soal anak.

Sebelum ini, aku sudah benar-benar membulatkan tekadku soal itu. Aku bahkan sudah menyusun kalimat untuk menjelaskan pada Ibu soal itu, kalau di masa depan dia meminta cucu dariku. Dan entah kenapa, aku merasa tidak akan ada masalah berarti. Ibu pasti akan paham dengan keputusanku. Apalagi Ibu kan, sudah punya cucu dari Mbak Agnes. Usia Mbak Agnes juga masih bisa melahirkan satu atau dua anak lagi. Sudah cukup untuk menemani Ibu di hari tuanya.

Namun, sekarang aku sadar bahwa hal ini bisa menjadi masalah kalau aku bertemu dengan pasangan yang berbeda pendapat. Ditambah lagi, prinsip soal ini terbilang sangat penting dalam pondasi rumah tangga. Kalau sejak awal sudah berbeda, akan sulit sekali untuk disatukan.

Tangisku semakin pecah ketika Dicky menanyakan itu. Padahal baru tadi pagi aku merasa begitu bahagia karena ucapan Dicky. Masa siang ini, semuanya hilang begitu saja?

"Tapi aku nggak mau putus," sambung Dicky.

"Aku juga nggak mau," balasku di sela isak tangis yang semakin kencang.

"Aku udah terlanjur jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, sambil memelukku lebih erat.

Tubuhku menegang. Kalimat barusan langsung menggema di otakku. Ini pertama kalinya Dicky menyebut kata cinta dalam sepanjang hubungan kami!

Sejak awal, aku sudah berusaha untuk tidak menaruh harapan lebih soal hubungan ini. Apalagi saat memulainya, aku memang tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Semuanya murni didasari oleh rasa penasaran bagaimana jadinya kalau aku punya pacar dan menjalani kehidupan bebas seperti Dicky. Namun, seiring berjalannya waktu hatiku berkhianat. Entah sejak kapan, perasaan itu tumbuh subur. Sampai aku berada di titik tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau hidupku berlanjut tanpa ada dia sisiku.

"Ren, kita masih semester 3, lho. Dan aku juga nggak dituntut buat cepetan nikah sama orang tuaku. Apa kamu udah dituntut buat cepet nikah?" tanya Dicky lagi.

Dia bahkan tidak menuntut balasanku soal ungkapan perasaannya barusan!

Ya Tuhan, apakah itu artinya perasaan Dicky benar-benar tulus untukku? Apa aku sudah boleh menaruh harapan lebih besar lagi?

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang