43. Life is Still Going On

6.8K 1K 66
                                    

Setelah satu minggu mengurung diri di kamar tanpa melakukan aktivitas berarti, akhirnya aku memberanikan diri keluar dari kamar untuk kembali beraktivitas. Mulanya aku masih merasa butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Namun, pesan Dicky semalam cukup membuatku berhasil memaksakan diri keluar dari kamar.

Dicky:
Aku ngerti kamu lagi sedih. Waktu satu minggu itu sudah cukup. Kamu harus tetep jalanin hidupmu lagi seperti semula. Awalnya memang berat, tapi kalau kamu nggak mulai-mulai, masa terberat itu nggak akan berlalu, kan?

Aku membalas pesan itu dengan memintanya untuk menjemputku di rumah keesokan harinya.

Omong-omong, sekarang aku tinggal sendiri di rumah ini. Tentu saja Mas Alby sudah menawarkan agar aku tinggal di rumahnya saja, sehingga tidak kesepian. Mama Anita juga memberikan tawaran serupa. Namun, aku menolaknya halus, dengan beralasan kalau aku butuh waktu sendiri. Aku janji kalau merasa bosan atau kesepian, akan menghubungi mereka untuk mengunjungi rumah mereka.

Dengan berat hati Mas Alby menyetujuinya. Akan tetapi, sehari setelahnya dia memasanga beberapa kamera CCTV di depan rumah, dan pintu halaman belakang. Juga mengganti gembok pagar dengan yang lebih aman. Mas Alby mengubah tugas Pak Jono yang semula hanya menjadi supir, kini merangkap sebagai satpam juga. Jadi Pak Jono akan datang pukul enam pagi, dan baru pulang pukul sepuluh atau sebelas malam.

Berhubung aku juga punya Dicky, aku memilih untuk lebih sering diantar-jemput Dicky agar meringankan beban Pak Jono. Untungnya, Mas Alby maupun Pak Jono menyetujuinya.

Sementara itu Mbak Tiara dan Mama Anita rutin mengirimiku makan siang dan makan malam setiap hari. Sejak dulu di rumahku tidak ada pembantu. Ibu terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah sendiri. Sebenarnya aku juga bisa masak beberapa menu yang sederhana. Namun, tampaknya mereka tahu kalau aku sangat akan malas memasak dalam suasana hati seperti ini. Alhasil, melalui jasa ojek online, Mama Anita dan Mbak Tiara bergantian mengirimkan masakan ke rumahku, yang membuatku tidak berhenti mengucapkan terima kasih.

Begitu aku masuk ke mobil, Dicky menyambutku dengan senyum cerah. Sorot matanya menatapku lamat-lamat, seakan dia baru pertama kali melihatku. Malahan aku sendiri tidak ingat, apakah tatapan Dicky saat melihatku pertama kalinya seperti ini juga.

"Kenapa sih?" tanyaku karena Dicky tidak juga melajukan mobilnya, padahal aku sudah selesai memakai seatbelt.

Dicky menggeleng, lalu meluruskan tubuhnya sambil membetulkan posisi duduknya. Kemudian dia mulai melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahku, tanpa mengatakan apa pun.

Saat mobilnya mulai melewati jalan raya, aku terkejut mendengar lagu yang baru saja dinyalakan. Ditambah lagi, Dicky ikut bernyanyi mengikuti alunan lagunya, meski dengan lirik yang asal-asalan. Tawaku pecah.

"Ih, kamu hafal lagunya?" tanyaku tanpa menutupi keterkejutanku.

Dicky tidak menjawab, malah kembali bernyanyi dengan suara lebih kencang sambil satu tangannya menari mengikuti koreografi lagu ini. "Suaraku udah kayak Kai belum?" dia tertawa kecil.

"Apa-apaan, nih? Kok kamu jadi hafal lagunya, sampai hafal suara Kai segala, sih? Jadi sekarang udah suka EXO juga?" tanyaku antusias.

Dia tidak langsung menjawab, karena kembali bernyanyi saat memasuki bagian akhir lagu. Rasanya aku seperti sudah melewatkan perkembangan Dicky belakangan ini. Padahal kami hanya tidak bertemu seminggu. Dan tiba-tiba saja, Dicky yang dulu suka cemburu kalau aku sedang fangirling, jadi menghafal lagu Love Shot. Bukankah itu perkembangan yang luar biasa?

Setelah satu lagu selesai dan berganti ke lagu Heaven, yang sepertinya belum dihafal oleh Dicky, barulah dia berbicara. "Sekarang aku ngerti kenapa kamu sesuka itu sama EXO."

Heartbreak Girl (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang